Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Selasa, Januari 31, 2023
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Tuak

by Redaksi
01/09/2022
in Dialektika
99
SHARES
706
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Budi P. Hatees*

PIRAMIDA.ID- Sejarah tuak dan gula merah bagai anak kembar yang lahir pada hari yang sama. Itu sebabnya, di sebuah daerah penghasil gula merah, bisa dipastikan juga menghasilkan tuak. Tidak jarang, tuak dan gula merah kemudian bertemu dalam sebuah acara adat, di mana tuak jadi minuman dan gula merah disajikan dalam bentuk makanan ringan (kudapan).

Cuma, akhir-akhir ini tuak jadi sesuatu yang dianggap negatif. Minuman tradisional yang kehadirannya nyaris setua peradaban manusia itu, dipandang sesuatu yang buruk dan harus dihindarkan.

Orang-orang menyebut tuak itu “haram” karena termasuk “segala yang dapat memabukkan”. Tapi apa bedanya dengan jabatan, sesuatu yang telah membuat Ferdy Sambo mabuk berat hingga hilang nilai kemanusiaan dan menganggap membunuh Brigadir J sebagai pilihan tepat untukengembalikan kehormatan dirinya. Apa pula bedanya dengan harta yang membuat mabuk dan tak bisa sadar hingga para pejabat melakukan korupsi dan menyebutnya sebagai budaya masyarakat moderen.

Kita gemar memberi cap buruk pada semua yang berbau masa lalu, apalagi bila hal itu diterakan dalam kitab suci, tapi kita selalu memilih bagian yang paling membenarkan diri sendiri dari kitab suci yang kita baca. Kita membaca kisah Qorun, tapi kita hanya menyimak bahwa ada banyak harta karun yang masih tersimpan di bumi, dan bekerja keras untuk menemukannya.

Tuak memang haram jika membuat mabuk dan orang mabuk itu tidak sadar diri. Bagaimana jika tuak dijadikan obat untuk menyembuhkan para penderita diabetes, sejenis penyakit kelebihan glukosa yang jarang ditemukan pada orang yang rutin meminum tuak? Bukankah penyakit dalam kesadaran religi adalah ujian dari Tuhan bagi umat?

Jadi, tuak itu adalah satu dari sekian banyak nikmat yang diberikanNya kepada manusia, dan setiap nikmat yang berlebihan akan menyebabkan kemudaratan.

Simpul ini akan banyak menolaknya, sebab banyak dalil yang bisa direntangkan untuk menentang tuak sebagai salah nikmat yang diciptakan untuk manusia dari sekian banyak nikmat lainnya. Semua nikmat itu hakikatnya untuk ujian ketaqwaan, siapa dari hamba yang paling sanggup untuk lebih mencintai penciptanya.

Hampir semua suku bangsa memiliki tradisi menghasilkan minuman beralkohol. Dia minuman fermentasi, dan fermentasi adalah hasil ilmu pengetahuan. Kemampuan melakukan fermentasi termasuk pengetahuan tradisional. Semua minuman beralkohol hasil pengetahuan tradisional.

Orang Jepang tak akan pernah menghasilkan sake, fermentasi beras, seandainya mereka lahir di Sipirok. Tapi mereka pasti akan menciptakan tuak, fermentasi dari nira pohon aren. Dan orang Makassar jika dia lahir sebagai orang Jepang, sudah tentu tak bisa membuat minuman tradisional dari nira lontar. Artinya, pengetahuan tradisional itu diciptakan manusia untuk memanfaatkam alam disekitarnya guna kehidupannya sendiri.

Begitulah tuak diciptakan manusia. Pada awalnya, masyarakat tradisional pendukung budaya megalitik menciptakan tuak untuk menghilangkan kesadaran (intoksidasi) yang tujuannya untuk melaksanakan upacara. Penghilangan kesadaran ini biasanya diikuti bunyi tetabuhan.

Di lingkungan masyarakat Angkola, ada tradisi gondang dan tortor Sarama. Ini seni yang dilakukan seorang dukun untuk mencapai tras, situasi tak sadar agar dirinya dimasuki kekuatan leluhur. Seorang penari Sarama mengawali dengan minum tuak yang dimasukkan dalam gerigit dan selama menari dia memegang gerigit itu. Ketika kesadarannya hilang, roh leluhur akan masuk, lalu raja-raja adat bertanya tentang segala hal yang penting di bonabulu mereka.

Tanpa tuak, mereka tak akan tahu apa yang akan terjadi di kampungnya. Mereka akan jadi masyarakat yang tak cerdas, yang tak bisa menata kampungnya, yang kemudian akan punah.

Lalu aku ingat seorang kawan yang merasa dirinya super setelah minum tuak. Suatu malam, sepulang minum tuak, kawan itu berjalan kaki lewat jalan sawah. Di tengah jalan, dia menemukan sebatang kayu dan meraihnya untuk tongkat. Ajaib, kayu itu ternyata seekor ular cobra, dan ular itu mematok si kawan. Hari ini, kawan itu hanya tinggal kuburannya.(*)


Penulis merupakan sastrawan dan jurnalis. Banyak menulis esai di berbagai media. 

Tags: #aren#filosofi#sejarah#tuak
Share40SendShare

Related Posts

Manusia sebagai Makhluk Mengada dalam Ruang & Waktu

18/12/2022

Oleh: Inosius Pati Wedu* PIRAMIDA.ID- Kemajuan teknologi transportasi, informasi dan komunikasi di zaman modern menyebabkan manusia dapat berinteraksi dan berkomunikasi...

Sejarah Bidang

17/12/2022

PIRAMIDA.ID- “Sejarah itu bersajak”, ujar Mark Twain. Walau sejarah tak bisa terulang kembali. Sekarang, ke mana dan di mana kita...

Romantisme Bom Bunuh Diri Astana Anyar

12/12/2022

Oleh: Gregorius Bryan G. Samosir (Ketua Lembaga Pengembangan SDM PP PMKRI) PIRAMIDA.ID- Belum kering air mata akibat gempa yang mengguncang...

Peran Media Massa Sebagai Salah Satu Konsep Kekuatan Politik di Indonesia

18/11/2022

Oleh: Dwi Puja Kusuma* PIRAMIDA.ID- Perkembangan media massa di Indonesia mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Utamanya setelah memasuki era reformasi,...

Eksistensi ABRI Sebagai Aktor Kekuatan Politik Pasca Orde Baru

16/11/2022

Oleh: Aulia Sindi Pifua* PIRAMIDA.ID- Berbicara mengenai politik merupakan satu hal yang sangat menarik, namun perlu digarisbawahi juga bahwa tidak...

Perkembangan Politik Pencitraan diselaraskan dengan Perkembangan Demokrasi

11/11/2022

Oleh: Buha Pasaribu* PIRAMIDA.ID- Pencitraan kebijakan atau political imaging, berkembang dengan demokrasi di Indonesia, dimulai dengan pemilihan presiden langsung tahun...

Load More

Tinggalkan Komentar Batalkan balasan

Terkini

Edukasi

Meningkatkan Keadilan di Indonesia

29/01/2023
Berita

Esensi Kekuasaan di Indonesia

28/01/2023
Berita

Komda PMKRI Sumbagut: Wali Kota Medan Penuh Pencitraan

28/01/2023
Berita

PP Simalungun Buka Pendaftaran Balon Ketua MPC Simalungun

28/01/2023
Berita

Tuntaskan Perkara Judi Apin BK, Komda PMKRI Sumut Apresiasi Kinerja Kapolda Sumut

28/01/2023
Sains

Cerita tentang Bedes Bijak (Homosapiens)

27/01/2023

Populer

Prosesi sertijab PP GMKI/screeshot
Berita

PP GMKI Resmi dikukuhkan, Ini Susunan Pengurus Pusat GMKI Masa Bakti 2020-2022

09/01/2021
ilustrasi: tirto.id/Gery
Sains

Apa itu Teori Evolusi Darwin?

27/01/2023
Berita

Syukuran Pembubaran Panitia, Panitia Perayaan Natal 3 Sinode Gelar Pemberian Tali Asih di Panti Asuhan

02/06/2022
Berita

Esensi Kekuasaan di Indonesia

28/01/2023
Edukasi

Keterbatasan Jumlah Guru Terampil

09/12/2021
Berita

Kritik Sastra: Pengertian, Fungsi, Manfaat dan Pendekatan

14/11/2022

FULL CAFE SIANTAR DI JALAN NARUMONDA ATAS NO 30

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2021 Piramida ID

wisata indonesia - destinasi wisata terpopuler Rotasi Asia - Berita Terkini Spot Wisata Danau Toba Terbaik destinasi wisata dunia

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2021 Piramida ID

wisata indonesia - destinasi wisata terpopuler Rotasi Asia - Berita Terkini Spot Wisata Danau Toba Terbaik destinasi wisata dunia