Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Kamis, Agustus 28, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Wajah Demokrasi Pasca Pilkada 2020

by Redaksi
23/01/2021
in Dialektika
98
SHARES
700
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Gading Simangunsong*

PIRAMIDA.ID- Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) di 270 daerah secara serentak se-Indonesia telah terselenggara dengan baik pada 9 Desember 2020 lalu.

Pilkada yang sempat diundur dari 9 September 2020 ini mendapat apresiasi dari dunia internasional dengan tingkat partisipasi pemilih 76% dengan kata lain, sekitar 77 juta pemilih antusias menggunakan hak pilihnya ke TPS, walau pilkada ini sempat melahirkan keraguan dan kritikan karena diselenggarakan dimasa pandemi Covid-19 yang mengganggu stabilitas kesehatan nasional.

Perhari ini, rangkaian penyelenggaraan pilkada telah mencapai tahap akhir, yakni penetapan pasangan calon di seluruh daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak — ada beberapa daerah yang masih berurusan dengan sengketa di MK.

Lantas, menjadi refleksi bagi kita hari ini adalah bagaimana wajah dan arah pembangunan Indonesia ke depan pasca Pilkada Serentak 2020?

Pilkada yang usai kemarin telah membuktikan bahwa arah demokrasi bangsa kita telah perlahan berubah dari otoritarian (di bawah tapak sepatu) ke demokrasi liberal. Salah satu cirinya bahwa penyelenggaraan pilkada kemarin berasas pada prinsip luberjurdil, yang memberi ruang sebebas-bebasnya bagi warga negara, bak panggung bebas tanpa dominasi, ekspresif, serta mengandung hegemoni pesta rakyat, seremonial dan pencitraan-pencintraan moralitas.

Dalam kasus ini, kita tidak lagi mendapati intimidasi terstruktur atau mobilisasi seperti zaman Orba.

Keterbukaan demokrasi ini sejalan dengan fenomena teknologi-informasi yang pesat, yang menjadi dimensi baru bagi proses pesta demokrasi. Tak bisa dipungkiri, kemudahan akses menjadi primadona bagi tim sukses maupun calon.

Selain itu media sosial menjelma menjadi ruang untuk pertarungan opini yang bisa membentuk framing di masyarakat demi tercapainya popularitas atau naik pamor oleh calon yang harus dimenangkan.

Demokrasi liberal juga menjadi “angin segar” bagi masuknya korporat profesional dalam ruang demokrasi dan pemilu kita; kini urusan demokrasi dan politik telah melibatkan kaum profesional seperti NGO/LSM, pers dan konsultan politik.

Ke depan, kaum profesional ini akan semakin menancapkan kukunya dan semakin sentral berperan dalam proses demokrasi.

Kondisi ini makin diperparah kala pesta demokrasi telah menjadi komoditi ekonomi yang di dalamnya terdapat transaksi politik. Sederhananya uang adalah segalanya dalam proses politik. Anda tidak memerlukan sekolah pengkaderan, kursus ideologi, jenjang karier yang jelas di partai atau bahkan berbicara rekam jejak seorang calon.

Anda hanya perlu mengeluarkan uang banyak untuk mencapai popularitas (red: pencitraan) karena memenangkan popularitas berarti memenangkan pilkada.

Fenomena politik uang alias money politics menjadi bukti bahwa politik transaksional sudah membudaya di masyarakat dan bisa dilihat dengan mata telanjang. Pasca reformasi setiap pemilihan mulai dari Pileg 2004, 2009, 2014 dan Pilkada 2005, 2010, 2015 hingga saat ini masih sarat politik uang.

Bawaslu RI sendiri mencatat 104 kasus yang ditanganinya pada Pilkada 2020. Fenomena politik transaksional ini bakal semakin kental karena kegagalan parpol untuk melahirkan pengkaderan dengan baik, penegakan hukum yang hanya fokus menghukum pemberi, sekolah politik yang rendah serta budaya suap yang telah “Indonesia banget”.

Doktrin liberalisme dalam demokrasi dibuktikan dengan kemesraan penguasa dan pengusaha; panggung politik sejatinya hanya bisa dikuasai elit dan segala kepentingannya baik selaku aktor maupun otak di balik layar. Dalam kasus ini, rakyat akan menjadi objek politik belaka ketika benang-merah pilihan hanya ditarik dari sudut “siapa yang cair” bukan lagi soal gagasan, ideologi bla-bla-bla.

Jika berkaca dari hari ini, apa yang terjadi sekarang tak bakal ada ubahnya dan bahkan semakin parah di kemudian hari. Proses demokrasi seperti ini tidak akan melahirkan politikus sejati, melainkan hanya segelintir elite (pengusaha, investor, dokter, anaknya menteri, istrinya bupati bahkan perampok) berkedok politisi karbitan, tentu saja dengan narasi bahwa mereka semua di atas adalah kader terbaik partai yang pro-rakyat.

Populisme

Fenomena populisme dalam praktik berdemokrasi menjadi senjata ampuh sekelompok orang untuk mengkultuskan seorang pemimpin yang karismatik dengan narasi-narasi kegelisahan rakyat.

Gerakan populis sering kali membedakan dirinya dengan kaum lain (elite), dan menempatkan dirinya sebagai korban yang menuntut perbaikan atas ulah kaum lain (elite) yang menyebabkan kesusahan bagi mereka. Kehadiran populisme di negeri ini ditandai dengan kelahiran tokoh-tokoh yang dianggap populis yang kebanyakan lahir dengan identitas agamis dan terpelajar.

Populisme dalam demokrasi berkaitan dengan kepentingan. Umumnya gerakan ini dibangun oleh identitas tertentu yang memiliki tujuan untuk mencapai cita-cita kelompoknya, bukan cita-cita masyarakat luas.

Orientasi populisme mengalami pergeseran, karena dalam hal ini gerakan populisme hanya berpotensi membuat perpecahan sesama anak bangsa, gerakan populismea hari ini dibalut dengan politik identitas mengatasnamakan agama tertentu, kelompok tertentu yang menempatkan dirinya sebagai kaum/korban dari kelompok berkuasa.

Biasanya untuk memuluskan modusnya gerakan ini memanfaatkan kekuatan massa yang banyak untuk dimobilisasi demi terciptanya opini publik yang memancing perlawanan terhadap penguasa, tetapi tak sampai di situ saja melainkan gerakan ini telah bermetamorfosa menjadi gerakan terstruktur yang memiliki agenda politik; ke depan bakal ditandai dengan banyak lahirnya partai atau ormas-ormas baru sebagai kanal aspirasi gerakan dalam pentas politik nasional.

Baik politik transaksional maupun populisme yang berpotensi mengganggu keutuhan bangsa adalah tantangan bagi demokrasi khususnya pemilu ke depan.

Baiknya masyarakat dapat belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya agar rasional dalam menentukan pilihan yang berkualitas. Hal ini bisa dimulai dari gerakan untuk menolak politik uang dan politik identitas berbau SARA dalam setiap ajang pesta demokrasi atau pemilu.

Meski mencari pemimpin ideal terasa sulit dari calon yang tersedia ditengarai gagalnya partai mempersiapkan kader/calon yang kompeten, namun, paling tidak dengan menggunakan hak pilih dengan hati-hati kita telah memenuhi kewajiban konstitusional.(*)


Penulis adalah anggota GMKI Pematangsiantar-Simalungun, lahir di Pematangsiantar, 20 April 2000.

Tags: #demokrasi#elitis#pilkada#populismeheadline
Share39SendShare

Related Posts

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023

Oleh: Muhammad Muharram Azhari* PIRAMIDA.ID- Pengertian disiplin menurut Elizabeth Hurtock mengemukakan bahwa; Disiplin itu berasal dari kata "discipline", yaitu seseorang...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Heboh Demo DPR 25 Agustus! Komrad Pancasila: Tangkap Provokator yang Seret Massa Pelajar!!!

26/08/2025
Berita

Irjen Suyudi Ario Seto Dilantik Presiden Jadi Kepala BNN, Komrad Pancasila Nyatakan Dukungan Penuh

25/08/2025
Berita

KPK pilih Sindi Pramita dan Gading Simangunsong wakili Sumatera Utara di Bootcamp Antikorupsi 2025

24/08/2025
Berita

KNPI Simalungun Dukung Penuh Kejari untuk Segera Tuntaskan Dugaan Penyalagunaan Dana Hibah oleh Kaban Kesbangpol dan Dispora

22/08/2025
Berita

KNPI Dukung Investasi KEK Sei Mangkei Wujudkan Simalungun Maju

22/08/2025
Berita

ILAJ Akan Laporkan Kaban Kesbangpol Simalungun ke KPK RI, Desak Bupati Segera Copot Jabatan

17/08/2025

Populer

No Content Available
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

xnxx
xnxx
xnxx
xnxx