Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Selasa, Juni 17, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Sopolitika

Menjadi Bangsa

by Redaksi
01/09/2020
in Sopolitika
100
SHARES
716
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Kristian Silitonga*

PIRAMIDA.ID- “Suatu bangsa adalah keinginan untuk hidup bersama dan kesepakatan untuk berkorban.”

Ernest Renan (1823-1892)

Saya tertarik dengan pernyataan pemikir Perancis ini dalam mengamati gejala dinamika kebangsaan kita akhir-akhir ini. Tiba-tiba saja semua aspek di negara kita belakangan ini terkesan jadi serba tidak beraturan.

Seolah ada keserentakan dalam ruang dan waktu, semua dimensi kehidupan berbangsa menjadi semakin ruwet dan berantakan; mulai urusan politik, demokrasi, sosial ekononi dan hukum sampai masalah korupsi, plus tantangan penanganan pandemi COVID-19 dan aneka persoalan lainnya.

Terasa aneh karena semesta dinamika dan gejolak kebangsaan itu tidak berlansung dalam semangat nasionalisme dan kenegarawanan. Perbedaan sikap atas kebijakan penyelenggaraan negara cenderung diwarnai “permusuhan” dan keterbelahan. Terlalu mudah ingin sekedar tampil beda dan mempertaruhkan eksistensi kebangsaan dan seolah ingin “membangun negara” dalam negara.

Padahal lebih pada pertarungan ego politik dan kepentingan oligarki sempit yang mengatas namakan rakyat. Semangat perbedaan tetapi dalan etos kebhinekaan terasa semakin pudar.

Terlalu banyak informasi dan opini yang berkembang dan berseliweran. Informasi bisa dipelintir sedemikian rupa untuk kepentingan sesaat. Obyektifitas informasi urusan kesekian. Kepentingan elit dan kuasa modal jadi panglima.

Masyarakat pun menyikapi kesimpangsiuran itu secara simpang siur pula. Ada banyak hal yang tidak selesai dan amburadul dalam tata kelola republik ini. Kita bisa merasakan itu. Kekuasaan juga terkesan kian memihak.

Politisi dan pemegang mandat otoritas menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi dan kelompok kekuasaan.

Yupps, ini adalah era saat ketidakberaturan dan kebablasan demokrasi menjadi trend.

Segala sesuatu bisa digerakkan dan didesain oleh kekuasaan dan uang, yang sekaligus menjadi alat dan tujuan. Semua bisa dijungkir-balikkan seturut kepentingan para oligarki itu.

Kembali pada pernyataan Ernest Renan tentang “Qu’est cequ’ne nation? (Apa arti sebuah bangsa?)” tadi, masihkah kita memiliki keinginan yang sama saat ini.

Setelah 75 tahun merdeka, masihkah kita sebagai warga bangsa memiliki keinginan hidup bersama sekuat ketika kita memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945?

Adalah Renan pula yang mengemukakan pemikiran tentang “modal sosial” dan kesamaan ciri suatu bangsa; memiliki kejayaan yang sama pada masa lalu dan memiliki keinginan yang sama pada saat ini.

Pada masa orde baru, aspek keekaan dan doktrin ‘persatuan dan kesatuan’ terlalu dominan yang berwujud pada tata kelola pemerintahan yang sentralistis dan otoriter, cenderung mengabaikan kebhinekaan.

Saat ini ketika pendulum politik berayun ke arah desentralisasi dan otonomi daerah yang cenderung bablas dan terlalu bhineka malah berakses pada suburnya komunalisme dan lokalisme yang jika tidak diwaspadai bisa berujung pada demokrasi tribalisme.

Keinginan menjadi suatu bangsa itu sesungguhnya adalah kesanggupan warga untuk keluar dari kepompong-kepompong komunalisne, lalu menyerahkan diri untuk bersatu sebagai sebuah bangsa bukan karena sekedar kesamaan darah, suku, agama, dan golongan saja.

Tetapi ‘nation’ yang berbasis kesetaraan warga di depan hukum dalam bingkai ideologi dan konstitusi yang telah disepakati bersama.

Keadilan hukum yang terkonsentrasi dan keadilan ekonomi yang terdesentralisai itu yang semestinya menjadi harga mati jika kita ingin mempertahankan spirit nasionalisme kita, bukan malah sebaliknya.

Hal-hal ini yang belakangan semakin menjauh dari keseharian republik kita. Komitmen hidup bersama dan kerelaan berkorban dan bela rasa sesama warga bangsa semakin memudar.

Saat ini kebenaran sudah tak lagi berwarna hitam dan putih. Kebenaran bisa dimaknai berbeda oleh banyak pihak (post truth).

Pernyataan pejabat publik atau politisi membuat sebuah ungkapan jadi multi-tafsir. Masalah yang dianggap salah oleh salah satu pihak dapat nenjadi subjek kebenaran bagi pihak lain. Semua kebijakan publik cenderung “digoreng” kesana kemari oleh para elit kekuasaan dan pemegang otoritas kebijakan baik yang mewakili negara maupun yang memposisikan diri seolah kelompok oposan dan kritis.

Keduanya sama-sama mengatasnamakan rakyat walau seringkali terbukti justru hanya untuk memperjuangkan kepentingan kelompok masing-masing, tak lebih. Ada yang hilang pada era yang semuanya berakar pada kekuasaan dan materi saat ini. Bahwa mengatakan kebenaran dengan segala resikonya hanya akan dianggap sebagai tindakan naif dan konyol.

Secara perangkat keras kita memang mengembangkan prosedur demokrasi, tetapi demokrasi yang terwujud tidak mengembangkan hak dan budaya kewargaan. Yang terjadi malah personalisasi dan privatisasi politik yang turunan kandungnya adalah korupsi, kolusi dan nepotisme yang kesohor itu.

Lantas ketika praksis-praksis politik seperti itu semakin merajalela, apakah komitmen hidup bersama sebagai sesuatu bangsa di negeri ini mulai dan kian memudar

Harapan kita kembalikan pada kesadaran dan akal sehat kita sebagai warga merebut kembali hak-hak yang kita titipkan kepada segenap penyelenggara negara.

Atau ketika semangat berkorban dan bela rasa sesama warga bangsa sedang diuji oleh pragmatisme dan politik transaksional, harus ada keberanian menyatakan kebenaran dan alasan kita berbangsa tatkala napas masih dikandung badan, hidup haruslah berarti.

Walaupun setelah itu mati, kata Chairil Anwar, penyair besar bangsa ini.

Barangkali saya bolehlah memoderasi bahasa pujangga besar itu seperti ini, “siap untuk menyuarakan semangat kebangsaan dan bela rasa itu, tetapi tak sampai harus mati”.

Bah..!


Penulis merupakan pengasuh di rubrik Sopolitika, Piramida.id.

Tags: #bangsa#dinamika#KristianSilitongaheadline
Share40SendShare

Related Posts

Kedangkalan Radikalisme (Agama)

06/11/2022

Kristian Silitonga* PIRAMIDA.ID- Untuk mereka yang merasa memiliki Tuhan dan memonopoli kebenaran lalu menegasikan sesama yang lain; "Tuhan saja tidak...

Ilusi Kepemimpinan

16/04/2021

Kristian Silitonga* PIRAMIDA.ID- Dalam era demokrasi padat modal dan politik biaya tinggi seperti saat ini, apa sesungguhnya yang bisa kita...

Toleransi

15/02/2021

Kristian Silitonga* PIRAMIDA.ID- Siang jelang sore itu saya sedang nongkrong menikmati kopi dan ngobrol bareng teman di salah satu warung...

Merayakan Kedangkalan

02/11/2020

Kristian Silitonga* PIRAMIDA.ID- "Intelektualisme tidak pernah identik dengan gelar akademis. Intelektualisme juga tidak identik dengan banyaknya pengamat dan pakar." ~Jeremy...

Pandemikada

23/09/2020

Kristian Silitonga* PIRAMIDA.ID- Sudah terlalu banyak informasi, opini bahkan spekulasi membanjiri ruang publik kita yang mengaitkan pelaksanaan Pilkada dengan situasi...

Politik Dusta

04/08/2020

Kristian Silitonga* PIRAMIDA.ID- Hufft, galau sedang menghampiri ketika saya memulai tulisan ini. Yups, saya memang sedang mengalami kegalauan melihat perkembangan...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Refleksi Hari Lahir Pancasila, Fawer Sihite: Kita Harus Dengarkan Hati Nurani Rakyat

01/06/2025
Berita

Kalah Sebagai Calon Ketua Umum, Fawer Sihite Pastikan Dukung Kepemimpinan Prima Surbakti dan Jessica Worouw di GMKI

28/05/2025
Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Berita

Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH): Penegakan Hukum atau Alibi Militerisasi Atas Nama Konservasi?

09/05/2025
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Berita

GMKI Cabang Bandar Lampung Ungkap Krisis Kepolisian di Daerah Lampung: “Kekuasaan Tanpa Kendali, Rakyat Tanpa Perlindungan”

01/05/2025

Populer

Dunia

Sumber Air Bersih dan Air Minum di Arab Saudi

07/06/2020
Dialektika

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Pojokan

Pesan Tersembunyi Ki Narto Sabdo Dalam Lagu Kelinci Ucul

23/09/2020
ilustrasi/Cleopatra dalam budaya pop.
Pojokan

Cleopatra: Simbol Kecantikan yang Tidak Cantik-Cantik Amat

24/09/2020
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba