Kristian Silitonga*
PIRAMIDA.ID- Hufft, galau sedang menghampiri ketika saya memulai tulisan ini. Yups, saya memang sedang mengalami kegalauan melihat perkembangan dan dinamika politik dan perilaku para politisi, pun sebagian besar warga republik dalam mengolah demokrasi dan melaksanakan politik belakangan ini.
Semua kelihatan begitu asyik memainkan dan menikmati “dusta politik”. Terkesan dusta mendarahi republik ini dari hulu ke hilir.
Kesibukan para calon pemimpin politik bukan menawarkan isi, melainkan bungkus dan kemasan; bukan mendalami basis argumentasi dan visi, melainkan semata memperhatikan hasil rekayasa survei; bukan mengagregasikan kepentingan warga, tetapi sekedar mengartikulasikan kepentingan diri dan kelompok oligarkis.
Partai tidak didirikan sebagai perwujudan dan aspirasi perjuangan kolektif, melainkan sekedar alat mobilisasi dukungan elite politik.
Elite partai yang seharusnya menjadi garda res publika (urusan publik) malah menjadi simpul terlemah dari kehidupan republik. Sebagai sumber pemasok kepemimpinan negara, perilaku sebagian besar parpol dan politisi bahkan belum memiliki prasyarat mendasar untuk bisa mewakili kepentingan masyarakatnya.
Meminjam jargon sohor Aristoteles, yang membedakan manusia dengan binatang adalah kemampuan yang baik dan buruk, adil dan zalim, yang kemudian memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang dapat membedakan kebaikan dengan keburukan sekaligus kemampuan menghadirkannya.
Salah satu rantai terlemah dari demokrasi di Indonesia saat ini adalah mediokratis dan dekadensi golongan politik yang miskin gagasan, miskin etika, miskin pelayanan, miskin artikulasi.
Situasi inilah yang melahirkan apatisme dan sinisme publik pada politik. Sinisme itu meluas seiring dengan tendensi keserba-hadiran partai “merecoki” dan mencampuri segala bidang kehidupan publik.
Politik sebagai arena pertukaran gagasan bijak, perjuangan aspirasi rakyat, akuntabilitas dan pertanggungjawaban publik diselewengkan oleh parpol menjadi arena penampakan kedangkalan berpikir, transaksi kepentingan pragmatis, korupsi, pengingkaran dan pembohongan publik.
Lihat saja fenomena menguatnya politik dinasti dan kecenderungan ‘calon tunggal’ yang sekaligus berkelindan dengan terus menguatnya politik modal dan politik identitas dalam jelang perhelatan pilkada akhir-akhir ini.
Politik dan demokrasi direduksi menjadi sekedar arena pertarungan para elit politik namun seolah dikemas dalam arena pertarungan publik dan implementasi demokratis.
Demokrasi “dibajak” dengan memanfaatkan instrumen (regulasi formal) demokrasi itu sendiri.
Pemilu tidak lagi menjadi sarana rakyat untuk memilih dan “menghukum” para politisi khianat, dan tuna guna untuk kepentingan warga, melainkan jadi alat pengukuhan kembali para politisi pendulang uang dan penjual agama/identitas sempit.
Para kepala daerah terpilih pun disibukkan hanya membayar hutang-hutang politik yang sejatinya transaksional sejak awal ketimbang memperhatikan kualitas layanan publik.
Sudahlah, dukung saja para calon pemimpinmu secukupnya dan seperlunya. Tidak terlalu perlu memuja dan “mendewakan” mereka seolah sebagai ratu adil dan “juru selamat” yang akan segera bisa membenahi daerah menjadi lebih baik dan sejahtera dalam sekejap mata.
Mereka cuma orang biasa dan tak lebih sebagaimana politisi pada umumnya.
Pemilu/pilkada sesungguhnya hanya “ritual” demokrasi dan sirkulasi kepemimpinan politik lima tahunan saja kok. Tak lebih!
Sebab akar masalahnya tidak pernah serius kita evaluasi dan perbaiki, yakni mulai dari hulu kebijakan nembenahi partai politik dan memberikan pendidikan politik kewargaan melalui keteladanan kepemimpinan.
Karena sejatinya, “demokrasi itu sendiri sesungguhnya lebih ditekankan pada upaya merumuskan ‘cara-cara’ hidup bersama, bukan semata terobsesi untuk menciptakan ‘tujuan hidup’ bersama.”
Spiral kedustaan politik memang telah melilit dan merongrong hampir semua instalasi demokrasi dan politik kita.
Tidak hanya dalam praktik politik dan implementasi demokrasi, tapi juga pada aspek pembentukan formal dan kandungan regulasinya.
Tak perlu terlalu berkecil hati jika semua perhelatan politik dan demokrasi berlangsung dalam dinamika dusta politik melalui praktik-praktik kotor, janji, dan sumpah politik yang hanya manis didengar ketika kampanye, namun hening dan sunyi ketika telah berkuasa.
Dalam situasi seperti itu, politik hanya akan dilihat dan dimaknai sebagai urusan teknis, bukan persoalan etis.
Sebab politik sebagai pertarungan gagasan nilai tidak menjadi daya tarik hari ini dan para cendekia politik juga cenderung gagal menghadirkannya, bahkan malah terjebak dan terkontaminasi dengan aneka pesona ‘politik dusta’ itu.
Kekuasaan yang dimulai dengan dusta bisa melahirkan efek peniruan ke tingkat bawah dan beranak pinak menjadi “republik dusta”.
Hasil akhir dari spiral dan rangkaian dusta ini adalah pengabaian rakyat dan ketidak percayaan rakyat pada elite politisi dan pemimpinnya secara berkelanjutan.
Situasi ini memang cukup merisaukan.
Meminjam ungkapan satire dari seorang Thomas Jefferson, “Jika syarat masuk surga itu harus masuk partai politik dan menjadi politisi, maka saya memilih tidak mau menjadi anggota partai politik.”
Ungkapan itu barangkali agak sinis dan berlebihan, namun dalam konteks tertentu mungkin dapat kita pahami.
Lantas jika Anda bertanya kepada saya, “So, apa yang mesti dilakukan kalau begitu?”
Saya jawab, “Saya tidak tahu, saya sendiri kan sedang berdusta, eh maaf, maksud saya; galau…!”
Penulis merupakan pengasuh di rubrik Sopolitika, Piramida.id.