Kristian Silitonga*
PIRAMIDA.ID- “Suatu bangsa adalah keinginan untuk hidup bersama dan kesepakatan untuk berkorban.”
Ernest Renan (1823-1892)
Saya tertarik dengan pernyataan pemikir Perancis ini dalam mengamati gejala dinamika kebangsaan kita akhir-akhir ini. Tiba-tiba saja semua aspek di negara kita belakangan ini terkesan jadi serba tidak beraturan.
Seolah ada keserentakan dalam ruang dan waktu, semua dimensi kehidupan berbangsa menjadi semakin ruwet dan berantakan; mulai urusan politik, demokrasi, sosial ekononi dan hukum sampai masalah korupsi, plus tantangan penanganan pandemi COVID-19 dan aneka persoalan lainnya.
Terasa aneh karena semesta dinamika dan gejolak kebangsaan itu tidak berlansung dalam semangat nasionalisme dan kenegarawanan. Perbedaan sikap atas kebijakan penyelenggaraan negara cenderung diwarnai “permusuhan” dan keterbelahan. Terlalu mudah ingin sekedar tampil beda dan mempertaruhkan eksistensi kebangsaan dan seolah ingin “membangun negara” dalam negara.
Padahal lebih pada pertarungan ego politik dan kepentingan oligarki sempit yang mengatas namakan rakyat. Semangat perbedaan tetapi dalan etos kebhinekaan terasa semakin pudar.
Terlalu banyak informasi dan opini yang berkembang dan berseliweran. Informasi bisa dipelintir sedemikian rupa untuk kepentingan sesaat. Obyektifitas informasi urusan kesekian. Kepentingan elit dan kuasa modal jadi panglima.
Masyarakat pun menyikapi kesimpangsiuran itu secara simpang siur pula. Ada banyak hal yang tidak selesai dan amburadul dalam tata kelola republik ini. Kita bisa merasakan itu. Kekuasaan juga terkesan kian memihak.
Politisi dan pemegang mandat otoritas menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi dan kelompok kekuasaan.
Yupps, ini adalah era saat ketidakberaturan dan kebablasan demokrasi menjadi trend.
Segala sesuatu bisa digerakkan dan didesain oleh kekuasaan dan uang, yang sekaligus menjadi alat dan tujuan. Semua bisa dijungkir-balikkan seturut kepentingan para oligarki itu.
Kembali pada pernyataan Ernest Renan tentang “Qu’est cequ’ne nation? (Apa arti sebuah bangsa?)” tadi, masihkah kita memiliki keinginan yang sama saat ini.
Setelah 75 tahun merdeka, masihkah kita sebagai warga bangsa memiliki keinginan hidup bersama sekuat ketika kita memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945?
Adalah Renan pula yang mengemukakan pemikiran tentang “modal sosial” dan kesamaan ciri suatu bangsa; memiliki kejayaan yang sama pada masa lalu dan memiliki keinginan yang sama pada saat ini.
Pada masa orde baru, aspek keekaan dan doktrin ‘persatuan dan kesatuan’ terlalu dominan yang berwujud pada tata kelola pemerintahan yang sentralistis dan otoriter, cenderung mengabaikan kebhinekaan.
Saat ini ketika pendulum politik berayun ke arah desentralisasi dan otonomi daerah yang cenderung bablas dan terlalu bhineka malah berakses pada suburnya komunalisme dan lokalisme yang jika tidak diwaspadai bisa berujung pada demokrasi tribalisme.
Keinginan menjadi suatu bangsa itu sesungguhnya adalah kesanggupan warga untuk keluar dari kepompong-kepompong komunalisne, lalu menyerahkan diri untuk bersatu sebagai sebuah bangsa bukan karena sekedar kesamaan darah, suku, agama, dan golongan saja.
Tetapi ‘nation’ yang berbasis kesetaraan warga di depan hukum dalam bingkai ideologi dan konstitusi yang telah disepakati bersama.
Keadilan hukum yang terkonsentrasi dan keadilan ekonomi yang terdesentralisai itu yang semestinya menjadi harga mati jika kita ingin mempertahankan spirit nasionalisme kita, bukan malah sebaliknya.
Hal-hal ini yang belakangan semakin menjauh dari keseharian republik kita. Komitmen hidup bersama dan kerelaan berkorban dan bela rasa sesama warga bangsa semakin memudar.
Saat ini kebenaran sudah tak lagi berwarna hitam dan putih. Kebenaran bisa dimaknai berbeda oleh banyak pihak (post truth).
Pernyataan pejabat publik atau politisi membuat sebuah ungkapan jadi multi-tafsir. Masalah yang dianggap salah oleh salah satu pihak dapat nenjadi subjek kebenaran bagi pihak lain. Semua kebijakan publik cenderung “digoreng” kesana kemari oleh para elit kekuasaan dan pemegang otoritas kebijakan baik yang mewakili negara maupun yang memposisikan diri seolah kelompok oposan dan kritis.
Keduanya sama-sama mengatasnamakan rakyat walau seringkali terbukti justru hanya untuk memperjuangkan kepentingan kelompok masing-masing, tak lebih. Ada yang hilang pada era yang semuanya berakar pada kekuasaan dan materi saat ini. Bahwa mengatakan kebenaran dengan segala resikonya hanya akan dianggap sebagai tindakan naif dan konyol.
Secara perangkat keras kita memang mengembangkan prosedur demokrasi, tetapi demokrasi yang terwujud tidak mengembangkan hak dan budaya kewargaan. Yang terjadi malah personalisasi dan privatisasi politik yang turunan kandungnya adalah korupsi, kolusi dan nepotisme yang kesohor itu.
Lantas ketika praksis-praksis politik seperti itu semakin merajalela, apakah komitmen hidup bersama sebagai sesuatu bangsa di negeri ini mulai dan kian memudar
Harapan kita kembalikan pada kesadaran dan akal sehat kita sebagai warga merebut kembali hak-hak yang kita titipkan kepada segenap penyelenggara negara.
Atau ketika semangat berkorban dan bela rasa sesama warga bangsa sedang diuji oleh pragmatisme dan politik transaksional, harus ada keberanian menyatakan kebenaran dan alasan kita berbangsa tatkala napas masih dikandung badan, hidup haruslah berarti.
Walaupun setelah itu mati, kata Chairil Anwar, penyair besar bangsa ini.
Barangkali saya bolehlah memoderasi bahasa pujangga besar itu seperti ini, “siap untuk menyuarakan semangat kebangsaan dan bela rasa itu, tetapi tak sampai harus mati”.
Bah..!
Penulis merupakan pengasuh di rubrik Sopolitika, Piramida.id.