PIRAMIDA.ID- Proxy Warfare merupakan ancaman utama bagi bangsa Indonesia pada abad ke-21.
Proxy war adalah perang ketika pihak yang berkepentingan tidak ikut terlibat langsung pada saat perang tersebut terjadi, tahu-tahu mendapatkan keuntungan dan manfaat dari hasil peperangan itu.
Padahal seperti yang kita ketahui bahwa perang adalah upaya suatu bangsa atau negara untuk melumpuhkan bangsa atau negara lain.
Tujuannya bermacam-macam, yaitu karena ingin menguasai bangsa lain untuk mengangkangi kekayaan alamnya atau akan mengangkangi pasar potensialnya. Serta untuk menguasai geopolitik maupun geostrategisnya serta membuat suatu bangsa atau negara lain tetap dalam keadaan tak berdaya, merana, walaupun sebenarnya kaya raya.
Dalam proxy war ini, negara yang berkepentingan, memanfaatkan potensi konflik di negara sasaran, misalnya isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Dan hal-hal ini melumpuhkan otak dan raga melalui penyebaran narkoba, miras, dan pornografi, sehingga terciptanya ketidakadilan yang menyebabkan timbulnya kerawanan kesenjangan dan konflik sosial berkepanjangan.
Apabila ditelaah lebih dalam, sepertinya tidak usah menunggu abad 21, karena sekarang dan bahkan sebelumnya, sebenarnya bangsa Indonesia sudah merupakan korban proxy warfare.
Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang timbul setelah berakhirnya Perang Dunia II membuat Indonesia menjadi sasaran perebutan kedua kubu tersebut karena kekayaan alamnya beraneka ragam serta letak geografisnya sangat strategis.
Berbagai pemberontakan yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bukan mustahil merupakan ulah proxy war kedua kubu itu. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat/Aceh/Sulawesi Selatan, PKI Madiun, PRRI/Permesta, dan berbagai gerakan sparatisme berhasil diatasi dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Tetapi, puncaknya, pemberontakan G30S yang terjadi pada 1965 mengubah segala tatanan bernegara dan berbangsa.
Menurut Presiden Soekarno sebagaimana disampaikan dalam pidato pertanggungjawaban kepada MPRS bahwa peristiwa G30S bisa terjadi karena tiga sebab, yaitu keblinger-nya orang-orang PKI, adanya oknum tidak bertanggung jawab, dan karena kelihaian neokolonialisme.
Pascaperistiwa G30S, keadaan dan situasi Indonesia berubah demikian cepat. Kehidupan perekonomian demikian sulit dan bunuh-membunuh sesama anak bangsa di berbagai tempat menjadi biasa dan tidak tersentuh hukum. Kesulitan ekonomi ini boleh jadi karena pergulatan panjang dalam mengatasi berbagai pemberontakan di dalam negeri dan perjuangan merebut Irian Barat (Irian Jaya). Bukan mustahil, merupakan rangkaian sabotase nasional oleh sindikat bermaksud merebut kekuasaan secara merangkak.
Kondisi bangsa Indonesia saat ini sebagaimana dinyatakan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan baru-baru ini bahwa penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 255 juta orang, tetapi menghadapi masalah sangat memprihatinkan dalam berbagai hal. Kesenjangan sosial adalah merupakan masalah utama karena 20% kelas atas menguasai hampir 50% konsumsi perekonomian Indonesia, sedangkan penduduk kelas bawah yang jumlahnya mencapai 40% hanya menguasai 20% konsumsi perekonomian. Pada saat ini 45% penduduk Indonesia memiliki kemampuan pengeluaran hanya Rp500.000 per bulan.
Menko Puan juga menyebutkan, jumlah penduduk yang menganggur atau sama sekali tidak bekerja saat ini diperkirakan berjumlah 7,2 juta jiwa dan lebih kurang 40 juta lainnya masih harus berjuang mendapatkan pekerjaan yang layak. Apalagi laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih sulit dikendalikan dengan angka kelahiran bayi mencapai 4,5 juta bayi per tahun.
Menurut Wapres, bangsa Indonesia terlalu besar untuk tidak mengalami kemajuan. Berpartai dan berpolitiklah dengan kesadaran tidak untuk diri pribadi.
Berpolitiklah untuk mengurus daerah, generasi muda, dan masyarakat kita di kampung-kampung. Berpolitik untuk mendapatkan rahmat Tuhan (Kompas, 23/09/2015). Dalam hal ini, berpolitik tidak dalam berbuat penyelewengan dan berbuat dosa karena seluruh bangsa yang juga terkena azab, bencana, dan kutukan.
Berpolitiklah untuk mengurus daerah, generasi muda, dan masyarakat kita di kampung-kampung. Berpolitik untuk mendapatkan rahmat Tuhan (Kompas, 23/09/2015). Konsisten serta bertanggung jawab dalam kewaspadaan dan menangkal ancaman proxy war yang terus mengintai serta membayangi bangsa Indonesia.(*)
Tim Penulis Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Jambi, yakni: Mei J Sihombing, Esra Silitonga, Eva Rosita Situmorang, Titin Martina Nurianti Simarmata, Sanggul Aron Eleksis Pane.