Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Sabtu, Mei 24, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Ekologi

Bagaimana Distopia dapat Menyelamatkan Dunia?

by Redaksi
06/04/2022
in Ekologi
102
SHARES
731
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

PIRAMIDA.ID- Bentuk patung itu tak biasa, tapi anehnya sangat menarik. Monumen, karya itu, bentuknya seperti pohon raksasa yang terbuat dari gulungan plastik hitam yang berputar-putar, ditanam di hamparan lumut hijau terang yang merayap naik hingga ke ujung struktur, dan dihiasi dengan bunga anggrek merah muda keunguan.

Orang-orang yang lewat berhenti dan mengintip melalui jendela depan toko Weinberg/Newton Gallery yang ada di Chicago, Illinois.

Banyak yang mendapati diri mereka begitu tertarik dengan campuran yang tidak sesuai antara bahan alam dan sintetis dalam patung itu, sehingga alih-alih berjalan terus, mereka justru berjalan ke dalam galeri untuk mencari tahu lebih banyak, menurut direktur galeri Nabiha Khan-Giordano.

Dan ketika mereka melakukannya, semerbak aroma hujan yang akrab segera menyebar ke udara.

Human/Nature adalah pameran interaktif dan imersif yang saat ini dipajang di galeri nirlaba, dan dipresentasikan dalam kemitraan dengan Bulletin of the Atomic Scientists, sebuah organisasi yang mengidentifikasi dampak ancaman buatan manusia pada dunia kita.

Ini adalah acara yang dirancang untuk menghubungkan, mendidik, dan melibatkan penikmat seni dengan isu-isu mendesak tentang perubahan iklim.

Sepanjang pertunjukan, pameran ini memadukan sentakan distopia dengan semburat keindahan sendu – pengingat utama tentang apa yang dipertaruhkan sehingga mendorong kita untuk terus melestarikan apa yang kita miliki dan, lebih dari itu, mendukung dan memacu tindakan yang dapat membantu menopang kelestarian di masa depan.

Dari sudut pandang itu, tujuan instalasi seni ini bukan untuk mengejutkan kita agar bertindak, tetapi untuk menanamkan urgensi dan memotivasi kita untuk bertanya: jika kita tidak bertindak sekarang, kapan lagi?

Namun pertanyaan itu sendiri mengarah ke pertanyaan lain: dapatkah pameran dan proyek seni menggerakkan tindakan untuk membantu mengurangi perubahan iklim?

“Seni dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan para ilmuwan,” kata Rachel Bronson, presiden dan CEO Buletin, yakni membuat ilmu perubahan iklim yang terdengar abstrak dapat diakses, dapat dirasakan, dan dipahami.

Alih-alih mendorong kita menjauh dari tindakan kekinian yang dapat membantu mengurangi ancaman di masa depan, seni dapat mengundang kita untuk mendekat, dan membantu kita membayangkan masa depan berbeda yang dapat kita bantu bentuk.

Karya berjudul Monument, instalasi yang menjadi pusat pertunjukan, dibuat oleh seniman yang berbasis di Denver, Regan Rosberg.

Monument hanyalah satu contoh bagaimana seniman dapat menerjemahkan penelitian ilmiah yang tampak abstrak menjadi karya mencolok, yang menghubungkan kita secara mendalam dengan perubahan iklim yang sedang kita hadapi.

“Anda masuk dan melihat rerumputan yang indah dan anggrek, dan Anda mencium aroma hutan, dan kemudian Anda menyadari bahwa potongan-potongan yang berputar-putar itu adalah plastik, sangat jelek dan sangat indah pada saat yang sama,” kata Bronson.

Jenis kecantikan yang membingungkan ini sebenarnya adalah bagian dari strategi artistik Rosberg.

“Saya mencoba untuk memikat orang dengan kecantikan, pertama karena itu dibutuhkan dan kedua, ini adalah cara untuk melibatkan orang dan membuat mereka tetap tertarik.”

Dia juga menarik orang-orang dengan aroma hujan yang dia ciptakan dan sengaja disebarkan ke seluruh ruangan.

“Aroma secara langsung terkait dengan memori,” ujarnya, dan aroma hujan adalah salah satu yang secara khusus menempel pada manusia, dan menjadi bagian dari proses evolusioner kita.

Aroma yang memunculkan alam dan ingatan ini membantu membangkitkan rasa empati, koneksi, dan keajaiban, katanya.

Dengan menangkap perhatian dan emosi mereka, para penonton akan merasa lebih nyaman menggali lebih dalam makna di balik kontradiksi yang tertanam dalam karya tersebut.

Rosberg menjelaskan bahwa lumut adalah spesies yang sangat adaptif dan usianya mencapai 350 juta tahun. Anggrek juga sangat adaptif, asal-usulnya juga bermula dari jutaan tahun yang lalu.

Mereka mewakili banyak spesies yang telah berevolusi dan bertahan selama ribuan tahun. “Ini adalah makhluk hidup yang dapat mengajari kita untuk beradaptasi dan menjadi tangguh,” kata Rosberg.

Tapi mereka hidup berdampingan dengan massa plastik raksasa ini.

“Kita sering menggunakan plastik selama dua detik, tetapi sampahnya bertahan selama 1.000 tahun.”\

Tujuan ganda

Menggabungkan dua materi berbeda dan membiarkannya berkelindan bertujuan untuk mendramatisir kondisi kita sekarang, kata dia.

Kita hidup di dunia di mana ketakutan akan distopia dapat membanjiri rasa harapan kita, dan melumpuhkan kemampuan kita untuk bertindak.

Menghadapi distopia dan harapan pada saat yang sama bisa menakutkan, aku Rosberg.

Apa yang dapat dilakukan seni yang baik adalah memberikan perspektif yang memungkinkan kita untuk mengenali bahwa ketahanan itu mungkin dan bahwa kita dapat bertindak, dan ada banyak cara untuk melakukannya.

Itu sebenarnya salah satu poin utama dari pertunjukan ini, kata kurator Cyndi Conn.

“Begitu banyak percakapan sekarang memiliki pesan bahwa kita berada di titik di mana kita tidak bisa diselamatkan lagi. Itulah judulnya. Tapi bukan tidak ada harapan.

“Kita berada di sebuah persimpangan jalan. Pameran ini sangat jujur tentang betapa gawatnya situasi saat ini. Tapi kami juga menunjukkan keindahan dan ketahanan planet ini.”

Berjalan dari satu ruang galeri ke ruang galeri berikutnya, pengunjung menemukan satu demi satu karya seni yang menampilkan dualitas ini, masing-masing dengan caranya sendiri.

Ada selimut bertekstur berwarna-warni yang tampak nyaman karya seniman yang berbasis di Chicago, Karen Reimer.

Selimut ini seperti perca yang digabungkan menjadi peta skala kecil dan grafik yang memetakan jangkauan perubahan iklim yang meluas.

Reimer menyebut ini “visualisasi data” yang memetakan – dan membuatnya lebih mudah dipahami – dampak perubahan iklim.

“Kita tidak dapat melihat daftar angka yang memberikan suhu harian selama 100 tahun dan memahaminya tanpa banyak upaya secara mental,” katanya di panel seniman, “tetapi kita dapat melihat grafik garis dan melihat bahwa kenaikan suhu yang terus-menerus kini jauh lebih cepat dan mudah.”

Menanamkan informasi dalam tekstil berkilauan memungkinkan pengunjung untuk mendekat dan mulai mencerna kenyataan bahwa penelitian ilmiah dapat menampilkan abstrak menakutkan.

Selanjutnya, lukisan cat air benda mati yang halus oleh Laura Ball, seniman asal San Diego yang menggambarkan tanaman dan hewan yang saling terlibat dalam – apakah itu permainan, atau apakah itu tarian rumit yang saling menghancurkan? Atau mungkin pertarungan mereka didasarkan pada adaptasi saat mereka berevolusi menjadi masa depan yang tidak diketahui.

“Sebagian besar hewan yang dia gabungkan menghadapi kepunahan. Ini adalah pengingat betapa berharganya keanekaragaman hayati,” kata Conn.

Tayangan slide terus menerus menyajikan gambar-gambar kuat yang diambil oleh Donovan Quintero, seorang jurnalis foto untuk Navajo Times (Diné bi Naaltsoos).

Dia mendokumentasikan realitas yang tampak seperti distopia yang disebabkan oleh kekeringan, penambangan berlebihan, kebakaran hutan, dan pembuangan limbah beracun di seluruh negeri Navajo.

Gambar-gambar itu tampak tidak nyata: api yang meletus seperti gunung berapi di kejauhan dalam latar belakang sebuah foto; lalu kabut debu yang menyelimuti dasar sungai; diikuti oleh lanskap tanah yang dulunya hijau dan sekarang menjadi tambal sulam kuning-coklat kering dari retakan dan lipatan.

Tetapi foto-foto itu menggambarkan kenyataan, memaksa kita untuk menghadapi bagaimana bias mengarah pada pengabaian, yang pada gilirannya memperkuat dampak kehancuran perubahan iklim untuk komunitas minoritas.

Namun ketangguhan berada dalam gambaran orang-orang yang bertahan meskipun kekurangan air dan kehilangan lahan penggembalaan, dan terus bekerja untuk mencari solusi.

Pertunjukan ini juga mencakup serangkaian konsep ulang Jam Kiamat yang inventif: simbol ikonik yang dibuat oleh Buletin Ilmuwan Atom untuk mengingatkan umat manusia akan hitung mundur pada malapetaka.

Saat ini, hitung mundur diukur oleh ancaman dalam waktu bersamaan yang ditimbulkan oleh senjata nuklir, perubahan iklim, gangguan teknologi, dan Covid-19. Pengaturannya mengerikan: 100 detik dari tengah malam.

Seperti yang dibayangkan kembali oleh Obvious, kolektif Prancis yang bekerja dengan fotografer Rusia Stas Barnikas, jam kiamat kini melacak perubahan iklim.

Dipasang pada jam montase video yang terus berubah, ini adalah campuran dari foto-foto Barnikas yang mendokumentasikan perubahan yang telah terjadi pada lanskap terpencil Kutub Utara, yang selanjutnya diubah melalui algoritma kecerdasan buatan yang dirancang oleh Obvious, untuk memberikan gambaran sekilas tentang masa depan yang sangat indah dan namun di saat bersamaan juga sangat kosong.

Seniman yang berbasis di New York Matthew Ritchie telah menciptakan karya tiga bagian yang secara kolektif disebut “Dunia ini, taman ini, kali ini, atau tidak pernah lagi (Usulan untuk taman dunia, jam hidup)”.

Seni ini dimulai dengan peta dunia dengan cat air biru-kuning-hijau-coklat yang menarik perhatian dilihat seolah-olah dari luar angkasa, dengan 12 panah seperti jangkar menunjuk di sekitar bentuknya seperti jam.

Pada pada setiap titik tertulis kemungkinan tindakan yang dapat mengubah “jam kiamat” menjadi “jam kehidupan”.

Contoh, Pukul satu adalah “Tingkatkan pembangkit listrik netral karbon untuk memenuhi kebutuhan angin dan matahari saat ini.”

Potongan kedua adalah versi vinyl hitam-putih yang berisi informasi sama, kali ini dicetak dengan jelas dan berani dan tidak mungkin untuk tercampur.

Judulnya berbunyi: “Tidak seperti jam kiamat, tujuan ‘jam kehidupan’ adalah untuk membangun aksi kolektif dari pusat, bergerak secara simultan ke segala arah, dengan setiap usulan disajikan sebagai tanggapan atas runtuhnya batas planet.”

Terakhir, bagian ketiga adalah jam kosong yang mengundang pemirsa untuk menambahkan catatan tempel yang menyarankan ide dan saran mereka sendiri untuk memerangi perubahan iklim; sekarang hampir seluruhnya ditutupi dengan pesan sebagai tanggapan.

Rosberg juga mengundang pemirsa untuk terlibat dan menanggapi videonya, berjudul Dear Future, yang juga disertakan dalam pertunjukan.

Ini adalah pilihan untuk menarasikan lebih dari 150 surat dari seniman, aktivis, ilmuwan, ahli biologi, anak-anak dan guru yang dia kumpulkan.

Setiap surat membahas bagaimana perubahan iklim telah mempengaruhi pandangan mereka tentang masa depan.

Bacaan dari surat-surat itu, mulai dari yang penuh harapan hingga pedih hingga tragis, diselingi dengan foto-foto yang diambil Rosberg untuk mendokumentasikan perubahan lingkungan yang dia lihat selama residensi artisnya di Kutub Utara.

Di akhir acara, pemirsa diundang untuk duduk di meja terdekat dan menulis, dengan tangan, surat mereka sendiri untuk masa depan.

Mereka yang menulis surat menerima botol kecil berisi aroma Rosberg yang dibuat untuk Monument. Begitu banyak orang telah menyumbangkan pemikiran mereka,

Sebelum pengunjung meninggalkan pameran, mereka diberi kesempatan untuk menulis surat kepada perwakilan terpilih mereka.

Mereka juga dapat berhenti sejenak dan belajar dari video yang menampilkan berbagai ilmuwan dan orang lain yang mempresentasikan, pada tingkat yang lebih pribadi, apa yang mereka lakukan.

Dengan segala cara, acara ini menyampaikan pesannya.

Jumlah pengunjung meningkat sangat tinggi sehingga pameran diperpanjang sebulan, dan tanggapan terhadap karya seni individu terus bertambah. Acara ini juga memicu diskusi di antara mereka yang berkunjung.

“Saya hadir ketika orang mulai berbicara tentang bagaimana perubahan iklim secara pribadi mempengaruhi mereka,” kata Khan-Giordano.

Tapi kenyataan yang kita hadapi tetap ada. “Jika kita tidak melakukan apa-apa, kita dalam bahaya,” kata Bronson.

Pada saat yang sama, dia melanjutkan, “Apa yang kita lihat tentang iklim memberi saya optimisme: Anda dapat melihat partai politik merespons secara global… Bahkan di komunitas bisnis Amerika Serikat, Anda melihat rasa urgensi yang lebih besar dari 20 tahun yang lalu… Tapi kita harus bergerak lebih cepat.”

Bisakah seniman memberikan inspirasi untuk dorongan itu? “Seni bisa menjadi pukulan di perut,” kata Conn.

“Tapi ini tidak harus menakutkan. Bisa juga menginspirasi. Harus ada tempat untuk optimisme. Karena jika kita tidak memiliki optimisme, kita tidak akan mengambil tindakan.”(*)


Source: BBC Future

Tags: #ekologi#krisislingkungan#Seni
Share41SendShare

Related Posts

Menelusuri Asal Usul Makna Warna Hijau & Gerakan Lingkungan

05/03/2023

PIRAMIDA.ID- Pada Februari 1970, sekelompok hippie dan aktivis berkumpul di Vancouver, Kanada untuk membahas rencana uji coba nuklir di Pulau...

Perspektif Sosiologi terhadap Permasalahan Eksistensi Nelayan Skala Kecil

27/10/2022

Oleh: Adhitya Qurdiansyah (2205030012) PIRAMIDA.ID- Nelayan merupakan sebuah istilah bagi setiap individu atau kelompok yang mana kesehariannya bekerja menangkap ikan...

Di Jambi Penyelesaian Konflik Agraria Dinilai Setengah Hati, WALHI Ungkap Sejumlah Persoalan

26/07/2022

PIRAMIDA.ID- Proses penyelesaian konflik agraria di wilayah Provinsi Jambi, diakui masih menapaki jakan terjal oleh Manager Advokasi Wahana Lingkungan Hidup...

Apa yang Terjadi jika Kita Berhenti Menggunakan Plastik?

06/07/2022

PIRAMIDA.ID- Dari 8.300 juta ton plastik murni yang diproduksi hingga akhir tahun 2015, terdapat 6.300 juta tonnya telah dibuang. Sebagian...

Dampak Plastik terhadap Lingkungan

07/06/2022

Oleh: Lidya Putri* PIRAMIDA.ID- Kantung plastik kresek dan kemasan dari plastik lainnya merupakan alat pengemas yang paling banyak dipergunakan karena...

Apakah Efektif Pola Baru Pengawasan dan Penegakan Hukum di Laut Indonesia?

09/04/2022

PIRAMIDA.ID- Pengamanan wilayah laut menjadi kegiatan sangat penting untuk bisa terus berlangsung sepanjang tahun. Kegiatan tersebut tak hanya untuk mengamankan...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Berita

Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH): Penegakan Hukum atau Alibi Militerisasi Atas Nama Konservasi?

09/05/2025
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Berita

GMKI Cabang Bandar Lampung Ungkap Krisis Kepolisian di Daerah Lampung: “Kekuasaan Tanpa Kendali, Rakyat Tanpa Perlindungan”

01/05/2025
Berita

Fawer Sihite Luncurkan Buku “Menghidupi Kembali Ut Omnes Unum Sint”: Refleksi dan Kebangkitan GMKI

22/04/2025
Edukasi

Refleksi Paskah dan Titik Balik Kebangkitan Ekonomi Indonesia

20/04/2025

Populer

Dunia

Sumber Air Bersih dan Air Minum di Arab Saudi

07/06/2020
Edukasi

Peran Pemuda dan Mahasiswa untuk Pengembangan SDM

03/02/2023
Berita

Resmi Sertijab, Ini Struktur PP GMKI 2022-2024

01/02/2023
Spiritualitas

Kasih Sebagai Perintah Baru

26/07/2020
Dialektika

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023
Pojokan

Aku dan Sejuta Masalah Hidupku

17/06/2021
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba