Oleh: Iskandar Azmy Harahap*
PIRAMIDA.ID- Siapa yang tidak kenal rendang, olahan daging sapi atau kerbau dipadu rempah dan santan kering khas Minangkabau. Tidak hanya jadi makanan favorit penduduk Indonesia, nikmatnya rendang juga diakui di belantika kuliner internasional. Pada 2017 silam, rendang sempat menduduki posisi puncak makanan terenak di dunia versi CNN Travel.
Dengan kekayaan alam dan budaya yang melimpah, Indonesia punya segudang makanan yang berpotensi mencuri hati pencinta kuliner di dunia – mulai dari sate, rawon (Jawa Timur), gudeg (Yogyakarta), hingga sup konro (Makassar, Sulawesi Selatan).
Kekuatan kuliner ini dapat menjadi amunisi diplomasi Indonesia. Alih-alih melalui kekuatan militer dan ancaman ekonomi, Indonesia dapat melebarkan pengaruhnya dengan soft power, yang menekankan pada kerja sama dan pendekatan persuasif seperti melalui budaya dan pangan.
Sebagai tuan rumah perhelatan G20 2022, Indonesia dapat mengenalkan produk kulinernya untuk memperluas pengaruhnya dan membangun kedekatan antarnegara anggota melalui gastrodiplomasi.
Praktik gastrodiplomasi identik dilakukan oleh negara-negara dengan kekuatan menengah atau middle power seperti Indonesia. Konsep ini merupakan upaya membangun citra bangsa melalui cita rasa suatu makanan atau tata boga dalam ranah perjuangan diplomasi kebudayaan suatu negara.
Momentum Indonesia dalam diplomasi pangan dunia
Lewat perhelatan G20, Indonesia dapat melakukan gastrodiplomasi dengan beberapa cara.
Pertama, Indonesia dapat melakukan penguatan gastrodiplomasi dalam membangun rasa saling pengertian antarbangsa.
Salah satu contoh negara yang sukses melakukan gastrodiplomasinya adalah Korea Selatan. Negeri ginseng tersebut berhasil mencitrakan gastronominya secara strategis dan luas dalam upaya peningkatan soft power yang dimiliki oleh negara tersebut.
Dasar argumen penggunaan gastrodiplomasi adalah bahwa makanan merupakan instrumen komunikasi non-verbal yang krusial, bukan hanya sekadar alat untuk bertahan hidup, namun juga penanda indentitas.
Selain sebagai representasi dari identitas, makanan juga dapat dimaknai sebagai alat pemersatu anggota komunitas dengan memberikan kesan bahwa setiap anggota adalah setara, dekat, dan kuat saat bersama. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa pangan sebagai pendekatan soft power dapat menjadi strategi diplomasi yang kuat.
Indonesia sudah mulai menjalankan praktik gastrodiplomasinya. Pada tahun 2021, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif meluncurkan program Indonesia Spice Up The World untuk meningkatkan pemasaran produk bumbu dan rempah sebagai komoditas unggulan Indonesia.
Program ini mendorong hadirnya kuliner Indonesia di mancanegara, dengan menargetkan adanya 4.000 restoran Indonesia di luar negeri dan meraup nilai ekspor bumbu dan rempah-rempah sebesar US$2 miliar Rp 2,75 triliun).
Pemerintah juga melakukan promosi lewat perbaikan kemasan, pembiayaan, pameran, festival, hingga konten digital. Bumbu yang dipromosikan adalah bumbu rendang, nasi goreng, sate, soto, gado-gado, serta bumbu pendukung lainnya, yakni kecap manis dan kacang tanah. Sedangkan, rempah prioritas ekspor adalah lada, pala, cengkeh, jahe, kayu manis, dan vanila.
Kedua, Indonesia dapat melakukan penguatan produk pangan dengan juga mempromosikan daerah penghasil pangan tersebut.
Dengan kekayaan sumber daya alam dan budaya Indonesia, Indonesia memiliki beberapa daerah yang memiliki sumber pangan yang melimpah yang bisa menjadi daya tarik untuk promosi produk pangan tersebut. Hal ini penting mengingat produk dari suatu wilayah bisa saja memiliki karakteristik tertentu.
Kopi Kintamani asal Bali, misalnya, dikenal dengan rasanya yang asam segar seperti buah jeruk. Pasalnya, pohon kopinya ditanam di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut beriringan dengan pohon jeruk.
Sayangnya, produk khas yang terdaftar di pemerintah hingga saat ini hanya 65 produk saja. Sedikitnya jumlah produk yang terdaftar menunjukkan bahwa terdapat kendala dalam pendaftaran produk dengan menyantumkan indikasi geografisnya.
Selain itu, sebuah kajian yang dilakukan oleh Aron Török dan rekan-rekan dari Corvinus University of Budapest menjelaskan bahwa produk kopi Indonesia yang memiliki indikasi geografis dari mana mereka berasal sayangnya masing memberikan manfaat ekonomi yang sedikit bagi produsen di daerah penghasil.
Kopi Gayo dan Toraja misalnya. Gayo adalah daerah penghasil kopi di Aceh, dan Toraja adalah daerah penghasil kopi di Sulawesi Selatan. Meskipun nama produk kopi erat dengan daerah penghasilnya, namun kontribusi pemasukannya tidak mendorong pembangunan ekonomi di daerah tersebut.
Hal ini dikarenakan keterbatasan kapasitas pemerintah atau asosiasi industri dalam mengatur dan mengelola komoditas dengan indikasi geografis menjadi hambatan besar dalam pemanfaatan perekonomian hasil pertanian.
Ketiga, Indonesia dapat memperkuat arsitektur pangannya untuk menambah nilai dari makanan jadi.
Arsitektur pangan merupakan seni dan praktik untuk mendesain dan mengolah makanan. Arsitek pangan merancang makanan untuk memiliki estetika dan fungsi tertentu, tergantung pada tujuan penggunaannya.
Sebagai contoh, aturan desain untuk bourguignon, kuliner daging sapi ala Prancis yang dimasak dengan minuman anggur dan berharga mahal, tentu saja berbeda dengan burger produksi massal yang dijual di rantai makanan cepat saji.
Ini merupakan tugas arsitek pangan untuk mempertimbangkan estetika, biaya, jadwal, konteks, keamanan, dan properti dari bahan yang tersedia. Indonesia perlu mengarusutamakan prinsip-prinsip desain struktural untuk meningkatkan kesehatan, keberlanjutan, dan kualitas sistem pangan modern.
Indonesia dapat mempraktikkan tiga langkah tersebut dalam pertemuan G20 mendatang. Apalagi, di tengah situasi global yang tengah panas akibat konflik yang tengah berkecamuk di Ukraina, pendekatan soft power diharapkan dapat mencairkan suasana dan menjaga laju diskusi di antara kubu-kubu yang berseteru.(*)
Penulis merupakan Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Artikel pertama kali terbit untuk The Conversation.