Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Jika engkau ingin dikenang ribuan tahun, buatlah agama; jadilah nabi. Jika engkau ingin dikenang ratusan tahun, ciptakanlah imperium; jadilah raja.
Begitulah diktum sejarah. Begitulah catatan perjalanan peradaban. Karenanya, tak ada perang besar yg tak melibatkan agama dan imperium. Tak ada peristiwa besar tanpa absennya kedua aktor. Tanpa agama dan imperium, arsitektur dunia tak layak dituliskan.
Tetapi, “Tidak semua orang beragama masuk sorga. Dan, tidak semua penghuni sorga beragama. Sebab, agama adalah penyakit yang ditularkan lewat dogma dan upacara.” Pada saat yg sama, “tidak semua imperium membuat orang bahagia dan tidak semua warga bahagia tinggal di imperium. Sebab imperium adalah delusi yang ditegakkan via bedil dan senjata.”
Karenanya, kita tidak perlu sombong dengan agama. Tidak perlu ribut soal agama. Karenanya, kita tidak usah cinta buta pada imperium. Tidak perlu fundamentalis pada imperium.
Kita tahu bahwa kata agama berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti “tradisi” dan “keteraturan.” Kata lainnya adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio. Akar katanya re-ligare yang berarti “mengikat kembali.” Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada aturan bersama.
Sedang dalam bahasa Inggris “religion,” bermakna “takut akan Tuhan sambil merenungkan hal-hal eskatologi, kesalehan, ketekunan, ketaatan dan kepatuhan hukum.”
Karena ketaatan, kepatuhan dan keteraturan maka agamawan akan memproduksi kebenaran via ilmu; kebaikan via akhlak/karakter; keindahan via seni.
Dus, subtansi agama dengan demikian adalah moral dan etika yang sembilan: (1) Apabila beriman, ia idealis; (2) Apabila berjuang, ia selesaikan; (3) Apabila dipercaya, ia tidak berkhianat; (4) Apabila berbicara, ia tidak berdusta; (5) Apabila berjanji, ia tidak ingkar; (6) Apabila bermusuhan, ia tidak menelikung; (7) Apabila sukses, ia tidak takabur; (8) Apabila gagal, ia tidak mengeluh; (9) Apabila berkuasa, ia bergotong-royong.
Tentu setiap agama itu luar biasa. Karena itu dalam sejarah yg sangat panjang, nabi-nabi tidak hanya bicara hidup/mati/agama/ideologi/tuhan dan ibadah ritual. Nabi-nabi selalu bicara keadilan dan kesejahteraan via revolusi struktur ekopolotik. Ya. Revolusi Sistemik ekonomi-politik yang gigantik. Tanpa revolusi dan tindakan-tindakan raksasa, agama jatuh menjadi bisnis dan mafia saja.
Karena itu, yang bicara hidup/mati/ritual/tuhan/ibadah, baru sekelas romo dan kyai. Yang baru bicara identitas dan kesalihan individual baru kelas ustad dan artis. Kini dunia keagamaan kita baru sebatas bicara kurikulum artifisial dan ibadah pariferal. Kini dunia kepemimpinan agama kita baru sebatas ustad, room, dan artis. Belum sekelas nabi. Sangat memuakkan dan tidak menarik bagi capaian peradaban.
Jika ingin agama menjadi menarik, jadilah nabi baru yang fatwa dan tindakannya berdentum via revolusi ruhani dan revolusi total, “Tidak penting bagiku apa agamamu. Bahkan aku tak peduli, kamu beragama atau tidak. Yang betul-betul penting bagiku adalah perilakumu di depan kawan-kawanmu, keluarga, lingkungan kerja, negara juga dunia.”
Sebab yang paling genting kini bagi dunia adalah perilaku, “jagalah pikiranmu, karena akan menjadi perkataanmu. Jagalah perkataanmu, karena akan menjadi perbuatanmu. Jagalah perbuatanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu. Jagalah kebiasaanmu, karena akan menjadi karaktermu. Jagalah karaktermu, karena akan menjadi nasibmu.”
Agama tanpa karakter adalah tekhnik dan ekonometrik. Agama tanpa tindakan raksasa adalah sinetron dan pencitraan.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).