Ados Aleksander Sianturi*
PIRAMIDA.ID- Bung Karno adalah makhluk Tuhan yang sangat mengagungkan persatuan. Hal ini terbukti dalam pikiran maupun perjuangannya dalam menggalang persatuan guna terwujudnya suatu kemerdekaan sebagai jembatan peralihan dari belenggu. Belenggu yang dimaksud disini adalah penderitaan yang tercipta oleh penindasan yang dilakukan oleh para penjajah saat itu.
Cintanya Bung Karno akan persatuan terbukti dengan terbitnya tulisan beliau pada Suluh Indonesia Muda yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, Marxisme pada tahun 1926. Tulisan ini secara sederhana dapat kita sarikan menjadi sebuah tulisan yang meyakini adanya suatu kekuatan yang tercipta apabila adanya persatuan dari kaum nasionalis, Islamis, dan Marxis sebagai pilar pergerakan menuju kemerdekaan kala itu.
Menyadari adanya tujuan yang sama dalam “rumah gerak” yang berbeda dapat mengarahkan pada persatuan yang dapat menjadi suatu kekuatan.
Kini, kesadaran akan hal ihwal persatuan semakin di gerus oleh waktu. Keinginan perpecahan oleh oknum warga negara demi suatu kepentingan tidak lagi memerhatikan bahwa persatuan yang akan mewujud pada suatu kekuatan dapat berbuah kemajuan dan kesejahteraan.
Apabila dulu ada tiga pilar penting pergerakan dalam perwujudan kemerdekaan yaitu kaum nasionalis, islamis, dan marxis, sekarang ada dua pilar penting yang tak lelahnya berjuang untuk mewujudkan perpecahan. Dua pilar penting tersebut dapat kita sebut dengan kelompok radikalis (agama) dan separatis.
Sampai saat ini radikalisme dan separatisme masih terus berkembang di negara kita. Walau tidaklah terlalu besar, dua kelompok ini nyatanya lihai dan mumpuni dalam menggiring dan memanfaatkan situasi yang berpotensi sebagai kendaraan mereka dalam melancarkan aksinya.
Hal ini tentu dapat mengancam keutuhan persatuan dalam kehidupan berbangsan dan bernegara. Radikalisme dan separatisme merupakan dua haluan yang berbeda. Akan tetapi dua haluan ini dapat bekerja sama dalam suatu situasi yang dianggap bisa mendatangkan keuntungan bagi mereka.
Radikalis
Secara etimologis, kata radikal sebenarnya bermakna netral. Kata ini berasal dari bahasa latin, “radix” atau “radici” yang menurut The Concise Oxford Dicyionary (1987) berarti “akar”, “sumber” atau “asal-mula”. Dalam makna yang lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal – hal mendasar, prinsip – prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala atau juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).
Pada zaman penjajahan istilah radikal berkonotasi positif dalam artian keberanian yang merasuk secara fundamental yang dimiliki para pejuang dalam mengusir penjajah pada waktu itu. Seiring berjalannya waktu istilah radikal menjurus pada sekelompok yang berjubah agama yang ingin memaksakan kehendak atas nama agama yang dapat memecah belah bangsa.
Peluruhan pengertian tersebut tak dapat kita pungkiri karena banyaknya peristiwa keagamaan yang dimotori oleh kelompok agamis. Kelompok agamis ini menjalankan aksinya secara radikal dan mencuci otak pengikutnya secara mendasar guna terwujudnya keinginan mereka.
Pada umumnya kelompok radikalis bersembunyi dibalik isu penistaan agama tehadap agama mereka. Kelompok radikalis akan memanfaatkan isu penistaan atau penodaan agama sebagai dalih kelompok yang tersakiti. Bilamana ada celah, mereka akan begitu semangat menggemborkan isu ini menjadi suatu persoalan yang sangat besar. Tuntutan mereka sedikit demi sedikit pun akan mulai menampakkan hasil.
Isu penistaan agama ini dapat dikatakan sebagai jurus andalan kelompok radikalis (agama) yang memang berpeluang besar dalam menimbulkan kericuhan. Tak hanya itu kelompok ini nyatanya masih diam diam memberikan pengaruhnya dengan menanamkan berbagai doktrin melalui lembaganya hingga memanfaatkan lembaga yang diasuh oleh pemerintah/negara.
Singkatnya, kita dapat melihat kelompok ini dalam suatu isu keagaaman yang menguntungkan mereka dan tampil mencolok dihadapan publik. Akan tetapi, kelompok ini sangatlah bungkam apabila terjadi suatu peristiwa yang tidak menguntungkan mereka.
Tujuan kelompok ini sangatlah beragam, akan tetapi berdasarkan peristiwa – peristiwa yang telah terjadi dapat kita simpulkan bahwa kelompok ini ingin menegakkan nafsu keagamaan mereka sebagai suatu sistem yang terlembaga. Keinginan penegakan nafsu keagamaan ini berpuncak pada tewujudnya agama (agama kelompok radikalis) sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Separatis
Di sisi lain ada kelompok separatis. Kelompok ini berbasis pada suatu wilayah yang dimana di negara kita kelompom ini terdapat pada wilayah timur Indonesia. Kelompok ini terkenal lebih keras dari kelompok radikalis karena mereka secara terang-terangan menyatakan keinginannya melalui perlawanan bersenjata kepada pihak keamanan negara.
Keinginan mereka pada dasarnya hanyalah satu yaitu kemerdekaan. Lucunya kelompok ini mengkehendaki kemerdekaan diatas negara yang sudah merdeka dan mereka termasuk di dalamnya.
Latar belakang munculnya kelompok ini ada banyak faktor yaitu,ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang sah, merasa berbeda teman senegaranya, merasa ditindas, merasa tidak dipedulikan oleh negara dan lain – lain. Hal yang paling primer disini adalah mencuatnya perasaan “berbeda” dari teman senegaranya yang lain.
Perasaan berbeda ini menimbulkan kepekaan yang berlebih terhadap sesuatu yang biasa kita dengar dengan rasisme.
Sejatinya manusia tercipta dalam suatu kesempurnaan karena memiliki akal budi dan pikiran. Perbedaan bentuk fisik seperti warna kulit dan ukuran tubuh sejatinya bukanlah sebuah persoalan yang mengurangi gelar kesempurnaan manusia itu sendiri
Berbeda dengan kelompok radikalis agama yang memanfaatkan isu isu agama, kelompok separatis di negara ini pada umumnya memanfaatkan isu rasisme sebagai dalih terdzholimi dan supaya mereka seakan punya alasan untuk memisahkan diri dari negara merdeka yang mencakup kelompok mereka juga.
Seperti kita ketahui bersama, Indonesia telah merdeka selama 75 tahun. Perjuangan untuk merebut kemerdekaan ini jelas tak memakan waktu yang singkat. Puluhan bahkan ratusan tahun lamanya perjuangan itu berlangsung hingga akhirmya negara kita bebas dari belenggu dan mengenyam kemerdekaan sebagai jembatan menuju Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.
Dari Sabang sampai Merauke menggambarkan keindahan hasil yang tidak mengkhianati perjuangan negara kita. Sebagai penikmat kdemerdekaan kita juga tak boleh menghianati perjuangan. Negara kita sudah sangat sempurna dengan aneka keindahan dan keberagamannya.
Perbedaan haruslah kita anggap sebagai kekayaan yang tak ternilai harganya.
Perkembangan dua kelompok ini adalah gambaran adanya ancaman nyata yang dapat mengebiri makna kemerdekaan yang kita nikmati saat ini. Berkembangnya kedua kelompok ini tentu dapat mengancam persatuan yang selama ini menjadi modal hidup bangsa untuk hidup dalam kedamaian guna kemajuan negara ini.
Rasa nasionalisme oleh segenap warga negara mestilah ditumbuhkembangkan sebagai langkah pengikisan paham yang tak selaras dengan harapan negara ini. Kaum nasionalis harus lah mengambil peran setidaknya melakukan edukasi terhadap warga negara yang dapat menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa dan negara ini.
Jika rasa nasionalisme sudah merasuk pada setiap warga negara, persatuan akan dengan mudah dapat digalang untuk saatnya berbicara kemajuan dan pembangunan bangsa. Berbicara nasionalisme kita dapat belajar pada Bung Karno sebagai salah satu pendiri bangsa yang gandrung akan kemanusiaan dan persatuan.
Sebagai penutup, Indonesia tidaklah akan pernah mengecap kemajuan selama persatuan oleh warga negaranya tidak benar – benar menjadi suatu hal yang utama. Kemerdekaan Indonesia akan selalu terancam selagi paham – paham yang tak selaras dengan ideologi bangsa masih bercokol di bumi Indonesia.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Jambi. Anggota GmnI Cabang Jambi.