Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Setiap hari adalah buku. Itulah hari-hari Hatta. Tentu termasuk hari Minggu. Suatu hari di hari Minggu di masa-masa awal kemerdekaan, Hatta menulis, “Pilihan kita dalam berindonesia adalah menghadirkan kebangsaan intelek. Sebuah kebangsaan yang mewajibkan kekuasaan negara dijalankan oleh kaum terpelajar; cendekia dan negarawan.”
Artinya, kita menempatkan kecakapan dan kapabilitas sebagai ukuran kepantasan memimpin. Singkatnya, agar negeri kita bisa maju dan makmur, maka kendali negara harus di tangan orang-orang cakap dan berpengetahuan. Bukan sekedar terkenal (elektabilitas) maupun emosional (ikatan SARA), apalagi desain aseng-asing-asong.
So, Indonesia itu beyond pasar, tribal dan isme-isme purba lainnya. Indonesia adalah hibridasi yang berpijak dari dan untuk prestasi. Warisan (ahli waris dan pewaris) atlantik.
Hatta dan Konstitusi
Tentu saja salah satu perancang utama ekonomi konstitusi atau konstitusi ekonomi adalah Hatta.
Sebagai agensi yang mempercayai demokrasi sebagai ontologi Indonesia, Hatta punya pemikiran yang khas dan beda dari demokrasi Barat. Sebab itu, bagi Hatta yang dipentingkan adalah kebersamaan dan kepentingan bersama. Artinya mengutamakan kepentingan kolektif (seluruh warga negara Indonesia).
Demokrasi ekonomi atas dasar kebersamaan dan asas kekeluargaan ini dalam kehidupan keekonomian kemudian ditegaskan dalam konstitusi, terutama Pasal 33-34 UUD 1945.
Kita tahu, Pasal 33 UUD 1945 berbunyi: ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Ayat 3); ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Ayat 4).
Lalu disambung lagi dengan Pasal 34 Ayat 1: ”Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara”; Ayat 2: ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”; dan Ayat 3: ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Bagaimana nasib dan realisasi dari pasal-pasal itu? Apa yang harus kita lakukan jika yang terjadi adalah pengkhianatannya? Kalian yang wajib menjawabnya.
Memunggungi Hatta
Mengapa ekonomi-politik kita harus menghadirkan Hatta? Tentu bukan hanya karena mencintainya. Tetapi karena beberapa tanya: Taukah kita? Pusat-pusat studi pancasila di kampus-kampus stagnan. Beberapa bahkan mati suri. Akibatnya kemiskinan dan ketimpangan makin menjadi-jadi.
Para ekonom di kampus-kampus itu belajar ilmu ekonomi apa? Sehingga sistem ekonomi pancasila, ekonomi konstitusi, ekonomi rakyat dan demokrasi ekonomi tidak terdengar sama sekali, tidak banyak bukunya dan tidak direalitaskan dalam jagat Indonesia.
Rupanya keacuhan, keberpalingan dan kepengkhianatan itu tak berumah dan beralamat. Ia bisa di mana saja dan kapan saja. Di kampus, istana, penerbit dan pesantren. Kini kita panen atas ketakhirauan pikiran-pikiran Hatta dan lakunya.
Apa sih jejak pikiran dan laku Hatta yang utama? Tentu saja, ia salah satu perancang utama ekonomi konstitusi atau konstitusi ekonomi yang berontologi demokrasi ekonomi.
Sebagai agensi yang mempercayai demokrasi sebagai ontologi Indonesia, Hatta punya pemikiran yang khas dan beda dari demokrasi Barat. Sebab itu, bagi Hatta yang dipentingkan adalah kebersamaan dan kepentingan bersama. Artinya mengutamakan kepentingan kolektif (seluruh warga negara Indonesia).
Demokrasi ekonomi atas dasar kebersamaan dan asas kekeluargaan ini dalam kehidupan keekonomian kemudian ditegaskan dalam konstitusi, terutama Pasal 33-34 UUD 1945.
Kita tahu, Pasal 33 UUD 1945 berbunyi: ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Ayat 3); ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Ayat 4).
Lalu disambung lagi dengan Pasal 34 Ayat 1: ”Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara”; Ayat 2: ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”; dan Ayat 3: ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Bagaimana nasib dan realisasi dari pasal-pasal itu? Apa yang harus kita lakukan jika yang terjadi adalah pengkhianatannya? Nasibnya dipunggungi dan dikhianati. Lalu, kita harus nagaimana? Kita telaah lagi pikiran dan jejaknya.
Aku percaya, kata Hatta, “bahwa proyek neokolonialisme yang melucuti pilar utama dari sebuah bangsa merdeka, yakni kedaulatan akan terus berlangsung tanpa akhir bahkan jeda waktu.”
Karena itu tak ada pilihan lain kecuali siap siaga sepanjang masa, sepanjang usia. Tentu, ini bukan hipotesa sembarangan. Tetapi hasil perenungan yang dalam. Elite hari ini belum ada yang punya pikiran sedalam Hatta.
Jejak laku utama perlawanan Hatta adalah pena dan buku. Setiap harinya adalah tulisan dan buku. Itulah hari-hari perlawanan Hatta. Tentu termasuk hari Minggu. Suatu hari di hari Minggu di masa-masa awal kemerdekaan, Hatta menulis, “pilihan kita dalam berindonesia adalah menghadirkan kebangsaan intelek. Sebuah kebangsaan yang mewajibkan kekuasaan negara dijalankan oleh kaum terpelajar; cendekia dan negarawan.”
Artinya, kita menempatkan kecakapan dan kapabilitas sebagai ukuran kepantasan memimpin. Singkatnya, agar negeri kita bisa maju dan makmur, maka kendali negara harus di tangan orang-orang cakap dan berpengetahuan. Bukan sekedar terkenal (elektabilitas) maupun emosional (ikatan SARA), apalagi desain aseng-asing-asong.
Karena itu bagi Hatta, badan publik kita bernama Negara Pancasila. Tentu, ia harus jadi badan publik di mana upaya deliberatif untuk menyatukan berbagai kepentingan yang timbul dalam masyarakat yang heterogen dan plural menjadi ultima.
Dus, setiap kebijakan publik harus lahir dari musyawarah mufakat bukan paksaan. Harus dari nalar publik yang argumentatif. Deliberasi dilakukan untuk mencapai resolusi atas terjadinya konflik kepentingan. Harus ada proses fair demi memperoleh dukungan mayoritas atas kebijakan publik demi ketertiban sosial dan stabilitas nasional yang berdampak keadilan, kemerataan, kesejahteraan dan kegotong-royongan.
Singkatnya, negara dan pemerintahan yang bergantung pada kebodohan orang-seorang tidak lama umurnya. Akan roboh dengan sendirinya seperti rumah pasir yang tersapu ombak. Mereka bisa saja menang dan berkuasa, tetapi generasi berikutnya tak akan ingat. Tak akan ada sejarah panjang atasnya. Mereka hanya para penikmat tulang tanpa daging.
Jika pimpinan publik laku jahiliyah maka kita mengalami slavencolonie yang berdampak pada academic poverty. Padahal, republik ini didirikan dengan sejuta ide dan gagasan. Yaitu, ide dan gagasan atas kritik terhadap kondisi penjajahan (denunsiasi) via refleksi kritis serta jawaban/solusi/harapan/cita-cita (anunsiasi) via proyeksi jenius dari warganya.
Kini tradisi itu hilang. Elite kita dan pengikutnya bukan tawarkan gagasan tetapi jajakan sinisme dan sindirisme. Kita yang “terpelajar” karena sekolahan, mestinya beda. Perbedaan itu pada sinkronnya nalar publik yang hasilkan kebijakan publik. Bukan terbalik.
Kita harus paham bahwa cara-cara jahat-muslihat hasil racikan agensi neoliberal yang bermental kolonial terbukti menjadikan bangsa ini mundur dan makin tak bermartabat. Dus, kita perlu cara baru dan agensi baru yang tersambung dengan sejarah, konstitusi dan cita-cita besar bangsa Indonesia Raya jika ingin merebut victory.
So, Indonesia itu harus beyond pasar, tribal dan isme-isme purba lainnya. Sebab, Indonesia adalah hibridasi yang berpijak dari dan untuk prestasi. Warisan (ahli waris dan pewaris) atlantik yang jenius.(*)
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto). Saat ini mengemban amanah sebagai Ketua Tim Perumus Naskah RUU Sisdiknas 2020.