Nelson Simanjuntak*
PIRAMIDA.ID- Membaca tajuk diskusi itu, “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan”, hati saya bergumam, “Wah, ini merupakan kegenitan akademik”.
Saya, sedikit pun, tak terpikir menuduh para mahasiswa itu sedang merencanakan makar, namun saya tak habis pikir bagaimana mungkin mahasiswa hukum yang mengaku sebagai kelompok peminat konstitusi di sebuah universitas negeri ternama membuat topik diskusi seperti itu.
Melalui berbagai media massa maupun media sosial, banyak kalangan politisi maupun akademisi menilai bahwa topik diskusi tersebut merupakan hal biasa dalam studi konstitusi.
Apa memang demikian?
Perihal alasan dan mekanisme pemecatan Presiden (sebelum masa jabatannya berakhir) yang dalam bahasa akademiknya disebut impeachment, sudah diatur terang-benderang dalam sistem ketatanegaraan kita, yakni dalam UUD NRI 1945.
Kira-kira kesimpulan akademik apa yang hendak mereka hasilkan, lebih tepatnya apa tujuan mereka mendiskusi impeachment dengan mengaitkannya dengan masalah pandemi? Semua orang waras tahu, bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami pandemi COVID-19?
Sudahlah, saya tidak bermaksud membahas tentang topik diskusi itu. Lagipula, sebelum hari pelaksanaannya, panitianya telah mengubah judul diskusi itu menjadi ‘Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan’.
Yang menjadi keresahan saya adalah “adanya” teror terhadap anak-anak muda panitia diskusi itu.
Teror yang diterima pun beragam, mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman korban, ancaman pembunuhan dalam bentuk pesan tertulis, hingga telepon. “Hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka,” ujar Dekan FH UGM Prof Sigit Riyanto dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/5/2020) sebagaimana dikutip liputan6.com.
Bahkan, menurut Pak Sigit, teror dan ancaman itu berlanjut hingga tanggal 29 Mei 2020. Teror bukan hanya menyasar nama-nama yang terlibat dalam diskusi. “Tetapi juga anggota keluarga yang bersangkutan, termasuk kiriman teks berikut kepada orangtua dua orang mahasiswa pelaksana kegiatan,” ujar Dekan FH UGM itu.
Bah…! Acara diskusi itu ternyata batal diselenggarakan. “Demi alasan keamanan, pada siang hari tanggal 29 Mei 2020, mahasiswa penyelenggara kegiatan memutuskan untuk membatalkan kegiatan diskusi tersebut,” jelas Sigit.
Mengapa mesti ada aksi teror? Siapa mereka yang melakukan itu, kok bawa-bawa nama Muhammadiyah? Syukurlah, Pengurus Daerah Muhammadiyah telah melaporkan pencatutan dalam aksi teror itu ke Polres Klaten, Sabtu sore.
Apakah mungkin karena faktor U, banyak hal yang sulit kupahami terkait teror Diskusi UGM ini. Pertama, sedemikian seriusnya aksi teror yang dialami para mahasiswa itu, tapi mereka tidak membuat laporan atau meminta perlindungan kepada polisi. Begitupun pembicara utamanya, Prof. Dr. Ni’matul Huda.
Guru besar FH UII Yogyakarta yang diplot sebagai pembicara utama dalam diskusi itu, dikabarkan, juga mendapat teror. Perempuan ahli Hukum Tata Negara itu sendiri – nah, ini yang kedua— tidak pernah secara langsung memberi informasi kepada pers perihal ancaman terhadap dirinya itu.
Adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Abdul Djamil, SH., MH, yang mengatakan bahwa salah satu dosen tata negaranya, yakni Prof. Dr. Ni’matul Huda S.H., M.Hum terkena teror.
“Dia diteror dengan didatangi serta rumahnya digedor semenjak semalam hingga pagi tadi. Semenjak pukul 23.00 malam hingga pukul 09.00 pagi tadi rumahnya berulang kali digedor-gedor orang tak dikenal. Mereka datang bergantian,” kata Abdul Jamil, sebagaimana dikutip Republika.co.id, Jumat (28/5) sore.
Sampai Minggu malam, sepanjang yang dapat saya ikuti melalui berita media massa, belum ada tanda-tanda serius dari penyidik Polri dalam menyidik masalah teror itu. Apakah itu mungkin karena para korban tidak ada yang melapor? Entahlah.
Saya yakin, Kapolri cukup paham bahwa kasus teror diskusi UGM ini telah berkembang tidak hanya sekadar masalah tindak pidana teror, melainkan sekaligus berkembang, dan sedang dikembangkan, pada persoalan kebebasan mimbar dan hak warga negara mengeluarkan pendapat.
Oleh para kaum “kritikus” Presiden Jokowi, kasus diskusi UGM ini sudah jadi modal menuduh Jokowi sebagai presiden yang otoriter dan tidak berpihak pada nilai-nilai demokrasi.
Ketidakseriusan mengusus kasus teror-diskusi UGM sama dengan membiarkan opini anti-pemerintah terus berkembang, yang bukan mustahil akan bereskalasi pada munculnya pembangkangan pada kelompok masyarakat tertentu, yang pasti memperberat beban pemerintah dalam menangani masalah pandemi COVID-19 dan segala dampak ikutannya yang sangat menyesak dan membuat kita tersengal.
Penulis merupakan salah satu anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia periode 2012-2017. Menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara pada jurusan Pertanian. Sebelum menjadi pimpinan Bawaslu, Nelson pernah berprofesi sebagai wartawan dan aktif di LSM yang terkait dengan kajian Pemilu.