Haz Algebra*
PIRAMIDA.ID- Pertama kali dirumuskan pada pertengahan abad kesembilan belas, sosialisme klasik Marxis membuat dua pasang klaim yang saling berhubungan, satu pasangan ekonomi dan satu pasangan moral.
Secara ekonomi, berpendapat bahwa kapitalisme didorong oleh logika eksploitasi kompetitif yang akan menyebabkan kehancurannya sendiri; sebaliknya, bentuk produksi komunal sosialisme akan terbukti lebih unggul secara ekonomi.
Secara moral, berpendapat, kapitalisme itu jahat baik karena motif mementingkan diri sendiri dari mereka yang terlibat dalam kompetisi kapitalis dan karena eksploitasi dan alienasi yang disebabkan oleh persaingan; Sosialisme, sebaliknya, akan didasarkan pada pengorbanan tanpa pamrih dan berbagi bersama.
Harapan awal kaum sosialis Marxis berpusat pada kontradiksi internal ekonomi kapitalisme. Kontradiksi itu, mereka pikir, akan memanifestasikan diri mereka dalam meningkatkan konflik kelas. Ketika kompetisi untuk sumber daya memanas, eksploitasi kapitalis terhadap proletariat akan meningkat. Ketika eksploitasi meningkat, kaum proletar akan menyadari keterasingan dan penindasannya.
Sampai pada titik tertentu, proletariat yang tereksploitasi akan memutuskan bahwa mereka tidak akan melakukannya lagi dan revolusi akan terjadi.
Jadi, strategi para intelektual Marxis adalah menunggu dan mencari tanda-tanda di awan, di air, hingga di bawah tanah, bahwa kontradiksi kapitalisme mengarah secara logis dan tak terhindarkan menuju revolusi.
Mereka pun akhirnya menunggu, menunggu lama … lama … lama … (ulangi selama dua abad) … lama … lama sekali …
***
Tiga Prediksi Gatot
Marxisme adalah dan merupakan analisis kelas, mengadu kelas ekonomi satu sama lain dalam kompetisi zero-sum (pihak-pihak yang lebih kuat akan memenangkan setiap ronde kompetisi, dan memaksa pihak-pihak yang lemah mendapatkan selisih yang lebih menyedihkan).
Jadi, ronde-ronde kompetisi kapitalis yang berturut-turut akan menghasilkan lebih banyak pemenang dan pecundang, sampai kapitalisme menghasilkan struktur sosial ekonomi yang ditandai oleh segelintir kapitalis di atas yang mengendalikan sumber daya ekonomi masyarakat, sementara masyarakat lainnya didorong ke jurang kemiskinan.
Bahkan, kelas menengah kapitalisme yang baru lahir tidak akan tetap stabil, karena logika kompetisi zero-sum akan memeras beberapa kelas menengah ke dalam kelas kapitalis teratas dan sisanya ke dalam kelas proletar.
Analisis kelas ini menghasilkan tiga prediksi definitif:
1. Meramalkan bahwa persentase Proletariat akan meningkat dalam populasi dan menjadi lebih miskin: ketika kompetisi kapitalis berkembang, semakin banyak orang akan dipaksa untuk menjual tenaga kerja mereka; dan ketika pasokan orang-orang yang menjual tenaga kerja meningkat, upah yang dapat mereka tuntut tentu akan berkurang.
2. Meramalkan bahwa Kelas menengah akan berkurang menjadi persentase yang sangat kecil dari populasi: kompetisi zero-sum berarti ada pemenang dan pecundang, dan sementara beberapa orang akan secara konsisten menjadi pemenang dan dengan demikian menjadi kapitalis kaya, sebagian besar akan kalah pada titik tertentu dan dipaksa masuk ke dalam proletariat.
3. Meramalkan bahwa persentase Kapitalis juga akan berkurang dalam populasi: kompetisi zero-sum juga berlaku untuk kompetisi di antara para kapitalis, yang menghasilkan beberapa pemenang yang konsisten dalam mengendalikan segala sesuatu sementara sisanya akan dipaksa menuruni tangga ekonomi.
Namun bukan itu yang terjadi.
Pada awal abad ke-20, di negara-negara kapitalis, persentase kelas pekerja manual telah menurun dalam populasi dan menjadi relatif lebih baik. Dan persentase kelas menengah telah tumbuh secara substansial menjadi lebih baik dan lebih kaya, seperti halnya kelas atas.
Kapitalisme, ternyata, bukanlah kompetisi Zero-Sum, melainkan Positive-Sum. Keliru. Alih-alih yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin, kapitalisme malah membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin ikut kaya.
Dengan demikian sosialisme Marxis menghadapi serangkaian problem teoretis: “Mengapa ramalan itu tidak terjadi?” Yang lebih mendesak adalah problem praktis ketidaksabaran: “Jika massa proletar adalah bahan baku revolusi, mengapa mereka tidak memberontak?”
“Tidak bisa begini! Eksploitasi dan alienasi harus ada di sana—terlepas dari penampilan yang tampak—dan itu harus dirasakan oleh para korban kapitalisme, kaum proletar!”
Jadi apa yang harus dilakukan pada kelas pekerja yang jelas-jelas non-revolusioner?
Berbekal kenyataan pahit ini, Marxisme pun mulai mengalami revisi dan modifikasi.
***
Dalam dua abad terakhir, banyak strategi telah ditempuh oleh kaum sosialis di seluruh dunia.
Kaum sosialis telah mencoba menunggu massa untuk mencapai sosialisme dari bawah, dan mereka telah mencoba memaksakan sosialisme dari atas ke bawah. Mereka telah berusaha mencapainya dengan evolusi dan revolusi. Mereka telah mencoba versi sosialisme yang menekankan industrialisasi, dan mereka telah mencoba versi yang agraris.
Mereka (yang paling beriman) telah menunggu kapitalisme runtuh dengan sendirinya. Dan ketika itu tidak terjadi, sebagian telah mencoba melawan kapitalisme dengan cara tersaruk-saruk (rombak etika, campur psikoanalisa ke dalam epistemologi, buang nalar jauh-jauh, adopsi irasionalitas).
Ketika kapitalisme berhasil memenuhi kebutuhan mendasar orang-orang, kritik terhadap kapitalisme berbelok dari isu ‘kebutuhan’ menjadi isu ‘kesetaraan’.
Bahwa: Oke, kebutuhan fisik dasar orang-orang sudah terpenuhi, tapi orang-orang melihat bahwa beberapa orang lain dalam masyarakat memiliki relatif lebih banyak kelimpahan daripada yang mereka miliki. Jadi, “jika mereka tidak mengalami penindasan fisik, maka mereka mengalami ‘penindasan psikologis’,” kata mereka.
Ketika kapitalisme berhasil menciptakan kekayaan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, kaum sosialis Marxis berubah standar dari memandang “kekayaan itu baik” menjadi “kekayaan itu buruk”.
Bahwa: kapitalisme terlalu berhasil, sehingga kapitalisme telah ‘gagal’ mendorong proletariat ke dalam kesengsaraan ekonomi, dan malah menciptakan ‘kelas tawanan’ yang mengalami ‘penindasan terselubung’ oleh kenyamanan dan gawai-gawai kapitalisme. Jadi, “kapitalisme tetap salah, dan revolusi harus terjadi bagaimanapun caranya,” kata mereka lagi.
Karena hilang kepercayaan pada nalar, beberapa lainnya susah berabstraksi dan akhirnya melupakan konsep internasionalisme, universalisme, dan kosmopolitanisme; fokus pada kelompok-kelompok kecil yang dibentuk berdasarkan identitas etnis, ras, gender, agama, atau lainnya. Dan ketika itu juga tidak berhasil, beberapa orang mencoba untuk menghancurkan kapitalisme dengan terorisme.
Tetapi kapitalisme terus melenggang dengan anggun dan sosialisme telah menjadi bencana.
***
Dengan runtuhnya Kiri-Kiri Baru, gerakan sosialis kini putus asa dan berantakan. Tidak ada lagi yang menunggu dengan penuh harap agar sosialisme segera terwujud. Tidak ada yang mengira itu bisa dicapai dengan menghasut pekerja, penganggur dan orang-orang awam. Tidak ada yang bisa melakukan kudeta. Dan mereka yang mau menggunakan kekerasan sudah mati, di penjara, atau terkubur di bawah tanah.
Kesal. Sakit hati. Frustrasi. Beberapa peng-iman menyangkal Marxisme telah mati. Mereka pun hidup beranak-pinak sebagai hantu di kampus-kampus, dan memerangi kapitalisme dengan taktik dan senjata yang tersisa: kata-kata.
Penulis merupakan dokter serta penerjemah dan editor buku.