Debby Sepriyanti Damanik*
PIRAMIDA.ID- Semenjak pandemi corona telah merebak, berbagai sektor kehidupan manusia perlahan terancam, termasuk para kelas pekerja. Beberapa waktu lalu, ratusan pekerja kontrak (outsourcing) di PT Aerofood ACS Bandara Soekarno-Hatta dipecat.
Hal ini membuat Serikat Buruh-Gerakan Buruh Katering memprotes sikap anak perusahaan PT Garuda Indonesia atas kebijakan pemecatan pekerja tersebut.
Perusahaan e-commerce terbesar, Amazon juga memecat pegawainya yang kontak langsung dengan pasien yang terinfeksi virus corona.
Di Perancis, negara meminta perusahaan untuk tidak memecat karyawannya, termasuk melalui skema yang memungkinkan bisnis untuk mengurangi jam kerja tanpa karyawan menerima gaji besar.
Sementara di Inggris, pemerintah setempat mengatakan 477 ribu orang telah mengajukan permohonan selama sembilan hari terakhir untuk universal credit, yakni pembayaran untuk membantu biaya hidup bagi mereka yang menganggur atau berpenghasilan rendah. Selain itu pula, peningkatan pengangguran terjadi pula di Irlandia, bahkan melonjak tinggi.
Tercatat, pandemi COVID-19 telah menginfeksi manusia hingga menembus angka 20 juta (per-11 Agustus 2020) tersebar di global dan menelan ratusan ribu korban jiwa.
Hilangnya pendapatan tenaga kerja akan berdampak pada konsumsi barang dan jasa yang lebih rendah, yang merugikan untuk kelangsungan bisnis. Dampak dari hasil pendapatan itu pun dihasilkan dari penurunan kegiatan ekonomi akan sangat berdampak besar pada pekerja yang dekat atau di bawah garis kemiskinan.
Selain itu, sangat diperlukannya akses cuti sakit berbayar yang dibiayai berdasarkan kolektif, tunjangan sakit juga memastikan keamanan penghasilan bagi mereka yang sakit, di karantina atau dirawat untuk anak anak, lansia atau bahkan anggota keluarga lainnya.
Dengan menganalisis bahwa kapitalisme dan krisis merupakan dua sisi dari sekeping mata uang, maka untuk memperpanjang nafas, sistem ini selalu berusaha keluar dari krisis dengan resep penghilang rasa sakit, tetapi tidak menyelesaikan akar masalahnya.
Dalam masa krisis akibat pandemi COVID-19, penting bagi kita untuk mengetahui bahwa kapital mengalami masa-masa yang dalam dirinya sendiri terdapat kelemahan.
Demikianlah, menjadi loncatan dan peluang besar bagi gerakan kelas pekerja untuk merebut sarana produksi atau kapital yang tidak bisa lagi mengalami mutasi dan reaksioner dalam membendung perlawanan kelas pekerja.
Dengan demikian, kelas menengah rentan miskin dan sama sekali tidak tersentuh oleh bantuan pemerintahan.
Lantas, bagaimana nasib para buruh tani yang ingin memenuhi kehidupannya dengan anak istrinya? Sedangkan pendapatan mereka pun sudah tidak cukup untuk biaya makan sehari-hari, belum lagi dengan biaya anak sekolah yang harus memenuhi kebutuhan utamanya, seperti membeli data internet.
Tak lain, Dini Afiandi dari Tuban, Jawa Timur, warga kelas menengah memiliki kekhawatiran ekonomi. Meski Dini tidak dirumahkan, karyawan yang bekerja di perusahaan angkutan truk tersebut mengatakan khawatir dengan kondisi keuangannya karena pemasukan perusahaan tempatnya bekerja telah berkurang sejak tiga bulan lalu.
Di tengah penurunan ekonomi akibat wabah virus corona, perempuan yang berusia 25 tahun itu pun kini masih bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.
Dini juga berharap kepada pemerintah agar memberikan bantuan untuk menyambung hidup beserta keluarganya. Ia adalah satu dari sekian banyak pekerja kelas menengah yang merasakan penurunan pendapatan selama pandemi ini.
Begitu banyak juga kelas menengah berpotensi turun ke kelas miskin. Kelompok yang berada di tengah ini rentan kembali ke kelas miskin jika ada bencana alam atau masalah penyakit kesehatan dengan skala yang luas, seperti pandemi COVID-19 sekarang.
Sementara itu, Organisasi Buruh Dunia (ILO) memperkirakan pandemi global ini mengakibatkan hilangnya 5 sampai 25 juta lapangan pekerjaan, dan pendapatan warga dunia akan berkurang sampai 3,4 Triliun dollar AS.
Dibandingkan dengan program-program yang sebenarnya telah menyasar orang miskin, tapi dananya ditambah, sementara yang rentan miskin ini jumlahnya cukup banyak dan ini yang harus dipikirkan pemerintah.
Lantas, bagaimana nasib kelas pekerja ke depan dengan kondisi semacam ini? Para kelas menengah bisa jatuh miskin. Lantas, bagaimana dengan buruh di negeriku ini? Apakah upah mereka sesubur seperti kekayaan sebelumnya atau bahkan akan merosot lebih parah lagi.
Para pedagang kaki lima tidak akan ramai pembeli lagi, restoran-restoran ternama akan tutup sedangkan biaya hidup kian meningkat.
Bagaimana juga nasib kaum buruh di negeri sendiri jika pemerintah lebih mementingkan investasi asing jalan terus ketimbang memperhatikan nasib kaum buruh yang di PHK di masa pandemi ini. Kiranya sektor ini menjadi perhatian pemerintah ke depan.
Penulis merupakan mahasiswi Keperawatan di Universitas Efarina, Pematangsiantar.