PIRAMIDA.ID- Sekretariat Bersama Tolak Tambang (Sekber) bersama masyarakat terdampak Tambang PT Dairi Prima Mineral (DPM) melakukan audensi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta.
Dalam pertemuan itu mereka diterima oleh 2 Direktorat Jenderal KLHK, yakni Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan serta Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya.
“Maksud kedatangan kami ke KLHK ini adalah untuk menyampaikan beberapa analisis risiko bencana lingkungan dan sosial apabila PT DPM di Kabupaten Dairi tepatnya di Kecamatan Silima Pungga Pungga dan Lae Parira mendapat persetujuan adendum ANDAL yang saat ini diproses di Komisi Penilai ANDAL KLHK. BAKUMSU, JATAM, Petrasa dan YDPK merupakan pendamping masyarakat yang terdampak, di mana dalam hal ini BAKUMSU bertindak menjadi kuasa hukum,” ujar Tongam Panggabean, Direktur Eksekutif Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU).
Tongam juga menyampaikan bahwa pertemuan ini bukanlah yang pertama sekali. Pada 16 Desember 2019 lalu, Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan (PDLUK) KLHK, Ary Sudijanto sudah berjanji akan menindaklanjuti pengaduan mereka.
“Sampai saat ini kami belum ada jawaban yang pasti, terutama mengenai timeline pembahasan addendum ANDAL tersebut. Kami juga sudah menempuh berbagai cara termasuk menyurati Komisi Informasi Publik untuk mendapatkan informasi terkait PT DPM, terutama informasi geologi, namun belum ada tindak lanjut.
Keterlibatan masyarakat juga sangat minim dalam penyusunan ANDAL PT DPM terbukti sampai sekarang masyarakat tidak mengetahui apa yang akan dilakukan PT DPM di tanah mereka,” lanjutnya.
Sementara perwakilan masyarakat, Raimin br. Purba juga turut meminta kepastian waktu terkait pembahasan adendum ANDAL PT DPM.
“Tiba-tiba saja sudah ada kegiatan pembangunan Gudang Peledak dan Pembangunan Tailing Storage Facility (TSF), sehingga hari ini kami datang untuk meminta kepastian kapan waktu pembahasan adendum ANDAL PT DPM dan mendesak untuk ditolak karena banyak persoalan yang sangat merugikan masyarakat akibat kehadiran PT DPM,” ujar Op. Rainim.
Beliau juga membawa berbagai macam hasil tani untuk ditunjukkan kepada pihak Kementerian. Beliau menyampaikan sebagai petani, mereka sangat berharap bapak/ibu kementerian memikirkan nasib mereka, sebab pertanian adalah hidup mereka.
“Dari sanalah hidup kami, kalau tambang datang hilanglah nanti kopi kami, gambiri, kapulaga dan juga durian kami yang terkenal enak itu,” ungkapnya.
Beliau juga menyampaikan bahwa sumber air masyarakat ada di lokasi pertambangan di mana sumber air itu digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan juga mengairi sawah masyarakat.
“Boha ma annong molo mago i tu dia ma hami? (Bagaimana nanti kalau hilang, kemana kami?),” ungkapnya dalam Bahasa Batak.
Hal yang serupa juga disampaikan Rini Sinaga dari Desa Bongkaras yang menyampaikan bahwa dari peta yang ditunjukkan hampir semua desa masuk dalam lokasi tambang PT DPM.
“Kami makan dari tani bukan tambang tidak ada urusan kami dengan tambang, kami menolak tambang hadir di desa kami,” tegasnya.
Rohani manalu dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) juga menyampaikan bahwa kehadiran PT DPM tidak memenuhi standar lingkungan hidup dan berpotensi mengancam ekologi serta bencana alam karena seperti kita ketahui Dairi dilalui 2 patahan gempa dan ada di zona merah di peta daerah bencana, sehingga tidak memungkinkan tambang dilakukan di Kabupaten Dairi.
“PAD Dairi itu 46% adalah dari sektor pertanian dan selama ini sektor pertanian menjadi sumber kehidupan dan durian yang enak tadi dihasilkan dari sana, kalau tambang datang mungkin 5 atau 10 tahun lagi kita tidak bisa lagi menikmati durian tersebut. Kami bukan anti pembangunan tapi pembangunan juga harus melihat potensi bencana di lokasi pembangunan tersebut. Ini selaras dengan yang disampaikan bapak Joko Widodo soal pembangunan yang harus memperhatikan risiko bencana di daerah zona merah,” ujar Duat Sihombing, Kepala Advokasi Petrasa.
Dari sisi teknik, Eko Teguh Paripurno, pakar mitigasi bencana dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jogyakarta yang hadir bersama Sekber menyampaikan bahwa peran negara sangat diperlukan dalam memitigasi resiko bencana akibat proyek pembangunan. Resiko bencana di lokasi konsesi PT DPM sangat terbuka karena struktur tanah di sana tidak akan kuat menahan dam tailing dengan kapasitas besar.
”Kita jangan seperti pencopet kita bisa mengambil 4 sampai 6 dompet setiap hari dan menikmati uangnya tapi tidak memikirkan dampak terhadap pemilik dompet, ini sama kita bisa mendapatkan jutaan dolar dari tambang tapi tidak pernah memikirkan dampak yang dirasakan orang di sekitar tambang, harapan saya KLHK jangan menjadi lembaga yang ikut membunuh masyarakat di sana, karena sangat berisiko,” imbuhnya.
Sementara ibu Wistinovia mewakili KLKH menyampaikan apa yang sudah disampaikan ke mereka akan diteruskan ke pimpinan dan sebenarnya kehadiran bapak ibu sangat tepat di sini karena kedua ditjen ini adalah ditjen yang fokus kepada hal hal disampaikan tadi termasuk air dan limbah yang bapak ibu khawatirkan dan mereka akan mempelajari bahan-bahan yang sudah bapak ibu sampaikan.
Begitu pula dengan Jansen Silalahi, Kabid di Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan yang menyampaikan, “Jika bapak/ibu punya data dan bukti terkait sumber air mohon disampaikan kepada kami karena itu sangat penting bagi kami untuk ke depan sebagai pertimbangan memberi rekomendasi soal ANDAL PT DPM apakah layak atau tidak, namun kami tidak bisa mengatakan sekarang itu layak atau tidak karena itu harus melalui kajian dari tim.”
Sebagai penutup dari audensi tersebut sekber menyerahkan beberapa data kepada KLHK yang diserahkan oleh Tongam Panggabean dengan harapan itu bisa jadi masukan kepada KLHK untuk tidak memberikan persetujuan terhadap adendum ANDAL tersebut.(*)