Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Kamis, Juli 3, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Meski telah Memenuhi Kuota Caleg Perempuan, Mengapa Jumlah Perempuan di Parlemen Tetap Sedikit?

by Redaksi
06/11/2020
in Dialektika
98
SHARES
700
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Ella S. Prihatini

PIRAMIDA.ID- Ada lebih banyak perempuan yang maju dalam pemilihan umum legislatif (Pileg) 2019 dibanding Pileg-pileg sebelumnya.

Tampaknya syarat mencalonkan minimal 30% kandidat perempuan agar partai politik bisa berkompetisi dalam pemilihan umum legislatif (Pileg) telah berhasil “memaksa” partai untuk patuh.

Setidaknya ini terlihat dari Pileg terakhir pada 2019 saat rata-rata jumlah calon anggota legislatif (caleg) perempuan di semua partai mencapai 41,2%.

Kuota gender penting untuk meningkatkan keterpilihan perempuan agar mencapai critical mass.

Critical mass adalah jumlah minimal yang diperlukan menciptakan perubahan (rata-rata dipatok 30% dari jumlah kursi legislatif) agar mereka bisa memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen.

Penelitian yang saya lakukan pada 2019, dan baru saja terbit di jurnal Politics & Gender, menemukan bahwa partai-partai politik telah berupaya mencalonkan lebih banyak perempuan.

Namun, meski jumlah caleg perempuan bertambah, keterpilihan calon perempuan dalam Pileg masih rendah.

Penuhi kuota

Di Indonesia, tujuh partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan berpartisipasi di dalam setiap Pileg sejak 2004 telah mencalonkan perempuan sesuai ketentuan kuota pada Pileg 2014 dan 2019.

Semua partai, baik yang berideologi Islam maupun pluralis/nasionalis, sama-sama telah lebih banyak mencalonkan perempuan.

Data menunjukkan nominasi caleg perempuan di Pileg 2019 rata-rata naik 25% dibandingkan tahun 2004.

Perempuan bukan prioritas

Meski jumlah caleg perempuan bertambah, jumlah perempuan yang memegang kursi di parlemen lebih rendah.

Pada Pileg tahun lalu, misalnya, tingkat kemenangan caleg laki-laki 2,6 kali lebih tinggi dibanding perempuan.

Ini karena banyak partai yang masih belum memprioritaskan caleg perempuan.

Masih sangat sedikit partai yang memberikan nomor urut satu kepada perempuan, padahal mayoritas caleg yang terpilih adalah caleg-caleg yang berada di posisi teratas.

Lewat wawancara dengan ketua fraksi dan ketua badan pemenangan pemilu masing-masing partai, saya menemukan bahwa seleksi caleg oleh mayoritas partai di Indonesia masih sangat tertutup dan tersentralisasi.

Temuan ini sejalan dengan temuan-temuan terkait pencalonan anggota parlemen di banyak negara yang tertutup dari publik.

Publik tidak benar-benar tahu mekanisme apa yang menentukan seorang caleg mendapat nomor urut 1 atau 9 dari partai.

Namun khusus di pengalaman PPP tahun 2014, terjadi lonjakan alokasi nomor urut teratas untuk caleg perempuan.

Responden saya menyebut bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah ketua badan pemenangan pemilu PPP di tahun itu adalah perempuan.

Ini menarik karena sesuai dengan riset sebelumnya yang menemukan bahwa jenis kelamin ketua tim pemenangan (laki-laki atau perempuan) berperan penting dalam mendorong atau menghambat kandidat perempuan untuk mencalonkan diri.

Kuota gender adalah konsep yang cukup baru. Di dunia, pada 1995, kuota gender hanya diterapkan lewat undang-undang di Argentina dan Nepal.

Kini, menurut data Inter-Parliamentary Union (IPU), ketentuan kuota gender telah diterapkan di 81 negara Di banyak negara, kuota gender telah berhasil membuat jumlah perempuan di parlemen meningkat. Data IPU menunjukkan negara dengan kuota gender memiliki legislator perempuan lebih banyak (30,3%) daripada negara yang tidak menerapkan (17,9%).

Biaya saksi dan kendala rekrutmen

Sebagian responden riset saya mengaku tidak mengalami kesulitan dalam menjaring perempuan yang tertarik untuk berkompetisi demi kursi legislatif di DPR.

Tapi sebagian lainnya menilai animo perempuan untuk menjadi caleg sudah jauh berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun terdahulu.

Terlebih lagi, partai politik menetapkan sedikitnya Rp 500 juta untuk harga posisi nomor urut 1 di kertas suara.

Maka tak heran jika banyak caleg perempuan terbatas berasal dari latar belakang ekonomi atas.

Harga nomor urut satu setiap partai tentunya berbeda-beda, namun justifikasinya satu: partai membutuhkan dana untuk menyiapkan saksi di sekitar 800.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) agar pencatatan akurat.

Biaya saksi ini dibebankan kepada caleg dengan sistem iuran, tapi sebagian pihak menyebutnya dengan “mahar” yang dibayarkan caleg agar bisa dicalonkan oleh partai.

Praktik ini sudah sepatutnya mendapat perhatian dari semua kalangan.

Tingkat kepercayaan yang rendah terhadap pencatatan hasil pemilu dan masifnya aksi jual-beli suara menimbulkan ancaman serius bagi demokrasi.

Lebih khusus lagi ini adalah ancaman bagi representasi politik perempuan, sebab pemilu yang mahal membuat partisipasi perempuan semakin terbatas.

Kuota gender 30% bisa jadi berhasil memaksa partai untuk mencalonkan lebih banyak perempuan dalam Pileg.

Namun, bila caleg perempuan hanya ditempatkan di nomor urut rendah yang kecil potensi menangnya, maka kenaikan jumlah caleg perempuan tidak akan meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR secara optimal.

Selain itu, biaya kampanye yang sangat mahal (termasuk kewajiban menyetor uang agar dapat nomor urut satu), membuat caleg perempuan hanya terbatas di antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang kuat.

Lagi-lagi, ini akan menguatkan cengkraman oligarki di politik Indonesia.


Penulis merupakan pengajar di Prodi Hubungan Internasional, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara. Artikel pertama kali terbit untuk The Conversation.

Tags: #parlemen#Perempuan#sorot
Share39SendShare

Related Posts

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023

Oleh: Muhammad Muharram Azhari* PIRAMIDA.ID- Pengertian disiplin menurut Elizabeth Hurtock mengemukakan bahwa; Disiplin itu berasal dari kata "discipline", yaitu seseorang...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Robot Polri Tuai Kritik Netizen, Fawer Sihite: Inovasi Harus Disambut Baik, Tapi Polri Perlu Bangun Instrumen Komunikasi yang Efektif

30/06/2025
Berita

Tokoh Cipayung Plus Gabung Golkar Lewat AMPI, Jefri Gultom: Politik Adalah Etika untuk Melayani

28/06/2025
Berita

Tokoh Cipayung Plus Login Golkar Pada HUT AMPI, Bahlil Lahadalia : Adik-Adik Saya Sudah di Jalan Yang Benar

28/06/2025
Berita

IRKI Nilai Tafsir UU Tipikor atas Pedagang Pecel Lele Menyesatkan

22/06/2025
Dunia

Perang Israel-Iran Menunjukkan Pentingnya STEM, Fawer Sihite: Dukung Sikap Presiden Prabowo

22/06/2025
Berita

Buntut Viralnya Dugaan Kekerasan Terhadap Tunanetra di Siantar, ILAJ Minta KND Periksa Wali Kota dan Jajaran Terkait

19/06/2025

Populer

Berita

Tokoh Cipayung Plus Login Golkar Pada HUT AMPI, Bahlil Lahadalia : Adik-Adik Saya Sudah di Jalan Yang Benar

28/06/2025
Berita

Robot Polri Tuai Kritik Netizen, Fawer Sihite: Inovasi Harus Disambut Baik, Tapi Polri Perlu Bangun Instrumen Komunikasi yang Efektif

30/06/2025
Edukasi

Keterbatasan Jumlah Guru Terampil

09/12/2021
Berita

Tokoh Cipayung Plus Gabung Golkar Lewat AMPI, Jefri Gultom: Politik Adalah Etika untuk Melayani

28/06/2025
Pojokan

Aku dan Sejuta Masalah Hidupku

17/06/2021
Dunia

Sumber Air Bersih dan Air Minum di Arab Saudi

07/06/2020
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba