Oleh: Dwi Puja Kusuma*
PIRAMIDA.ID- Perkembangan media massa di Indonesia mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Utamanya setelah memasuki era reformasi, keran demokrasi di Indonesia mulai terbuka. Hal ini ternyata memberi dampak kebebasan pers yang luar biasa. Pers tidak lagi terkungkung oleh aturan penguasa, sehingga pers dapat dimanfaatkankan oleh berbagai pihak untuk membela kepentingan institusi pemiliknya, tidak terkecuali untuk kepentingan politik.
Kecenderungan yang terlihat saat ini, organisasi-organisasi sosial-politik di Indonesia mulai berlomba-lomba mendominasi perusahaan-perusahaan media guna meningkatkan citranya di mata publik. Para elit politik berusaha membangun komunikasi politik secara intens guna menarik simpati massa agar mau berpihak kepada mereka. Media begitu diburu oleh banyak pihak karena kekuatannya dalam membentuk opini publik.
Pasang surut perkembangan pers di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang berlaku. Pada masa Orde Baru (1967-1998), dengan sistem pemerintahan yang sangat otoriter di bawah rezim Soeharto, pers yang bernaung di bawah Departemen Penerangan, begitu tertekan oleh penguasa saat itu sehingga pers harus selalu berhati-hati dalam menyampaikan informasi kepada publik.
Bila media massa menyiarkan berita yang sifatnya berseberangan dengan pandangan penguasa, maka media tersebut akan dihabisi. Sebut saja seperti Majalah Tempo, Detik, Editor yang akhirnya dibredel atau dicabut surat izin penerbitannya karena bersikap kritis kepada pemerintah saat itu.
Komunikasi politik saat itu dimonopoli oleh pemerintah sehingga hampir tidak ada opini publik yang berkembang secara dinamis yang mengkritik pemerintah. Hanya ada underground press (pers bawahtanah) yang berani melakukan itu secara sembunyi-sembunyi.
Lonjakan kebebasan pers dalam mengaktualisasikan pemberitaannya terjadi disaat peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru, tepatnya pada bulan Mei 1998 yang ditandai dengan mundunya Soeharto sebagai presiden, bangsa Indonesia memasuki babak baru yang dikenal dengan nama orde Reformasi.
Keran demokrasi mulai terbuka yang tentunya membawa angin segar bagi kebebasan pers. Komunikasi politik tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah. Opini publik pun mulai berkembang secara dinamis. Bangsa Indonesia mulai hanyut dalam euforia kebabasan yang bahkan kelewat batas. Hal ini juga berdampak pada media massa yang dulunya dikebiri oleh penguasa, kini dapat lebih leluasa mengekspresikan pemberitaannya.
Kritik terhadap pemerintah sekarang ini sudah bukan lagi hal yang tabu seperti pada masa Orde Baru. Bahkan saat ini sering terlihat media massa dijadikan sebagai alat untuk memperjuangkan ideologi dan kepentingan kelompok tertentu, misalnya dengan melihat bagaimana media massa mengkonstruksi realitas sosial yang ada serta membingkai isi pemberitaanya. Dari sini terlihat jelas dimana kecenderungan dan keberpihakan media, mendukung atau menentang atas suatu isu pemberitaan tertentu.
Ibnu Hamad (2004:9) menjelaskan bahwa media massa sering menjadi sumber informasi di samping sebagai saluran komunikasi bagi para politisi. Cara-cara media menampilkan peristiwa-peristiwa politik dapat mempengaruhi persepsi para aktor politik dan masyarakat mengenai perkembangan politik. Melalui fungsi kontrol sosialnya, bersama institusi sosial lainnya, secara persuasif media massa bisa menggugah partisipasi publik untuk ikut serta dalam merombak struktur politik. Keikut-sertaan media dalam mengubah sistem politik tiada lain adalah melalui pembentukan opini publik atau pendapat umum (public opinion), yaitu upaya membangunkan sikap dan tindakan khalayak mengenai sebuah masalah politik dan atau aktor politik.
Dalam kerangka ini media menyampaikan pembicaraan-pembicaraan politik (political talks) kepada khalayak. Bentuk pembicaraan politik tersebut dalam media antara lain berupa teks atau berita politik yang lagi-lagi di dalamnya terdapat pilihan simbol politik dan fakta politik. Karena kemampuan ini pula, media massa sering dijadikan alat propaganda dalam komunikasi politik. Bahkan karena peranannya ini, komunikasi politik sering diidentikkan dengan propaganda.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Universitas Jambi.