Oleh: Rizky Kusumo
PIRAMIDA.ID- Pramoedya Ananta Toer lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, sebuah kota kecil di bagian utara Jawa Tengah (Jateng). Tidak dapat dinafikan, Pram–panggilan akrabnya–adalah salah satu sastrawan Indonesia yang terkenal baik di dalam maupun di luar negeri.
Pembicaraan tentang karyanya terus dilakukan baik di luar maupun di dalam negerinya sendiri. Kenyataan ini membuktikan bahwa karya-karya Pram menarik perhatian khalayak ramai, selain itu pemikiran dan sikap dari Pram terlihat jelas dalam karya-karyanya.
Melihat kiprah kepengarangan, Pram lebih memperhatikan pada aspek manusia daripada sebuah peristiwa, Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa manusialah yang bertindak sebagai akar dan dasar untuk memajukan bangsa.
H.B Jassin berpendapat bahwa Pram tidak pernah kehilangan kepercayaan kepada manusia. Baginya, manusia adalah sumber kejahatan, tetapi juga sumber kebaikan. Inilah latar belakang jiwanya dalam menghadapi keganasan, ketidakadilan, dan kebodohan perbuatan manusia.
Menurut Prof Koh Young Hun dalam Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia, buah renungan Pram adalah kebebasan, keadilan sosial, dan kemanusian bagi rakyat jelata. Oleh karena itu, Pram selalu menampilan revolutionary hero dalam karya-karya kreatifnya.
“Ini disebabkan oleh keterkaitannya pada orang-orang yang sanggup bertindak untuk bangsanya,” ucapnya.
Menurut Koh, dalam menggambarkan tokoh-tokoh yang berani dan bijaksana, Pram selalu dihinggapi perasaan kasihan pada nasib mereka. Melalui tokoh-tokoh ini dirinya ingin menyampaikan sesuatu untuk kemajuan bangsanya.
Dalam proses ini, Pram berkeinginan untuk menganjurkan dunia baru yang terdiri dari unsur-unsur yang memungkinkan impiannya dapat tercapai. Tetapi jelas Koh, rasa simpati seorang Pram tidak berpihak pada satu isme, kecuali humanisme.
Sean Foster dalam Alienation and Intergration in the Indonesian Revolution menyebut, Pram tidak dapat menolak sepenuhnya gagasan tentang kehendak bebas. perasaan bahwa nasibnya sendiri terikat dengan jalannya revolusi memberinya perhatian pribadi yang intens dengan arah yang diambil sebuah revolusi.
Memang banyak karya Pram yang menggali inspirasi dari kisah-kisah revolusi, seperti Keluarga Geriliya (1950), Di Tepi Kali Bekasi (1950), Perburuan (1950), dan Bukan Pasar Malam (1951). Karya-karya yang dihasilkan Pram inilah yang membawa namanya mengemuka.
Pram pun dianggap sebagai prosais yang besar, kalau tidak yang paling besar karena masalah yang dikupasnya adalah masalah-masalah dasar manusia. Kecintaan pada keluarga dan bangsa, kebenciannya pada kebatilan, kebahagiaan, dan cacat-cacatnya.
“Dituangkanya itu dalam fiksi yang padat, kaya dengan pengalaman manusia, menarik dan mengharu-biru rasa kemanusiaan kita,” tulis Jakob Sumardjo dalam buku Pengantar Novel Indonesia.
Karya-karya dari pengalaman pribadi
Dapat dilihat bahwa tokoh-tokoh rekaan yang dihadirkannya memang berkaitan erat dengan pribadi Pram sendiri. Hal ini memang berhubungan dengan pengalaman hidupnya. Misalnya, konflik keluarga yang timbul karena desakan kemiskinan dalam cerpen Kemudian Lahirlah Dia.
Ada juga keadaan masa kecil diceritakan dalam Yang Sudah Hilang, suasana kematian ibunya, dibayangkan melalui suasana kematian keluarga sang ibu tokoh Sumo dalam cerpen Dia yang Menyerah.
Kisah proklamasi kemerdekaan dan pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) dikisahkan dalam novel Perburuan, riwayat hidup tokoh Pram pada waktu bertugas sebagai anggota pasukan yang ditempatkan di Cikampek dikisahkan dalam novel Keranji Bekasi Jatuh.
Peristiwa kecelakaan kereta api yang ditumpanginya di Puwerkerto pada tahun 1946 digambarkan dalam cerpen Kemelut, pengalaman di penjara diceritakan dalam Mereka yang Dilumpuhkan, suasana kematian ayahnya diceritakan dalam Bukan Pasar Malam.
“Cukuplah kiranya disebutkan bahwa pengalaman, pemikiran, dan emosi, disatupadukan dalam karya yang sangat mengharukan, bahkan kadang juga mengerikan,” tulis B. Rangkuti dalam Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya.
Pram dalam semangat kebangsaan
S.K Wirjono dalam bukunya yang berjudul Pramoedya dalam Kacamata Psychology menyebut Pram dalam karya-karyanya juga terdapat perasaan kebangsaan dan kemanusiaan yang saling bertemu pada situasi yang sesuai.
Perasaan kemanusiaannya lebih kuat ketimbang yang lainnya. Pada rasa kemanusiaan itulah terletak kekuatan batin Pram dalam mencerminkan keadaan sosial yang dianggapnya selalu berlaku tidak adil dalam semua ceritanya.
Pram memang merenung dan memperhatikan kebebasan, keadilan, persahabatan, dan kemanusian. Dirinya memikirkan sebagai orang yang turut mengalami tubuh dan jiwa revolusi dengan segala akibatnya.
Jasin menyatakan, renungan dan pengamatan Pram cukup tajam. Di sana-sini kadang kala membuat berdiri bulu roma karena penggambarannya yang tampak begitu kejam, penuh pertentangan baik dan buruk, jelek dan bagus.
Bagi Jasin, kesemuanya ini memperlihatkan berbagai dimensi manusia yang sesungguhnya, kepalsuan, kekuatan, dan kelemahan. Tetapi keyakinan Pram akan ideologi kebangsaan tidak menjadikannya Chauvinistik atau bersikap fanatik.
“Meskipun menghadapi kritik tajam dari pihak sendiri mengenai taktik dan kebijaksanaannya, semua itu tetap dipandang dari sudut perikemanusiaan dan kewajaran,” papar pria yang dijuluki Paus Sastra Indonesia ini.
Pram mampu menghasilkan novel-novel yang baik sewaktu dalam masa penjara karena adanya pertentangan besar. Manusia dipercaya menjadi lebih bersemangat jika dia berada dalam pengasingan.
Hakikat dunia impian seseorang yang berada dalam penjara berbeda dengan kenyataan. Jadi pertentangan antara impian dan kenyataan sangat besar. Kondisi ini menyebabkan adanya kedalaman jiwa dari cerita-cerita Pram akibat teralienasinya dengan lingkungan kehidupan.
“Alienasi ini juga menempatkannya sebagai orang yang berada di luar masyarakatnya. Akibatnya, dia dapat mengungkapkan persoalan yang lepas dari pengamatan masyarakatnya,” tulis D.S Pranata dalam Social Criticism in Literature: The Writing of Pramoedya Ananta Toer and John Ernest Steinbeck.
Sementara itu SM. Ardan beranggapan, masalah penahanan Pram ini sangat berarti bagi pengkajinya. Di dalam masa penahanan itulah bakatnya tumbuh, berkembang dan memuncak. Dari sinilah banyak yang beranggapan, bahwa Pram mulai produktif karena dalam masa tahanan.
“Di dalam penjara ini dirinya bergaul dengan para pejuang, penjahat, dan bajingan. Dia mengenal banyak manusia dari segala ambisi, nafsu, cita-cita dan harapan-harapannya yang tersembunyi,” kata Ardan dalam Pramoedya ke Luar Negeri.
Pram mengungkapkan pengalaman selama di penjara telah menguatkan perasaannya sebagai orang Indonesia. Perasaan yang untung saja tidak menyempit menjadi chauvinism tetapi bedasarkan pikiran yang luas dengan menempatkan manusia sebagai yang utama.(*)
Penulis merupakan Kontributor Good News From Indonesia. Artikel pernah diterbitkan untuk GNFI.