Rusdian Malik*
PIRAMIDA.ID- Salah satu perkara yang patut kita renungkan adalah kebiasaan manusia yang apabila marah atau menghina orang lain dengan sebutan nama-nama hewan, yang paling sering adalah anjing.
Saya kurang tahu sejak kapan mengumpat pakai sebutan anjing ini populer di tanah air, apakah sudah ada di zaman kerajaan kuno masa silam atau baru populer di tahun 2000-an saja? Ini menarik dikaji lebih lanjut.
Mari merenung bersama, ada apa gerangan sampai membawa-bawa nama anjing dalam urusan komunikasi manusia? Kenapa anjing dianggap hewan yang buruk? Apa salah mereka? Ada masalah apa manusia pada anjing? Apa pernah anjing merugikan dirinya? Sebegitu hinakah anjing padahal ia adalah makhluk ciptaan Tuhan juga? Apakah ia merasa lebih mulia dari anjing?
Dan seterus-terusnya, sampai-sampai ada yang beranggapan bahwa hewan pun beragama, kucing dan onta itu Islam sedangkan anjing itu Kristen, babi kafir, sebagaimana pohon cemara itu agamanya Kristen sedangkan kurma beragama Islam.
Dalam pemahaman fikih umat “mainstream”, anjing dihukumi najis yang berat (mugallazhoh). Anjing jangan dipelihara kecuali untuk 3 perkara, yaitu buat jaga kebun/sawah, jaga hewan ternak, dan buat berburu. Jika ada muslim yang “ngeyel” miara anjing di rumahnya maka pahala ibadahnya akan berkurang setiap harinya. Inilah informasi yang sering kita dengar berdasarkan ada riwayat haditsnya.
Namun alkisah, belakangan ini, memelihara anjing menjadi salah satu tren yang digandrungi sejumlah masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga tren di banyak negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Muncul pertanyaan, lha kok? Ada apa ini gerangan? Kalau non-Muslim sih oke dimaklumi, tapi kalau dia Muslim? Apa mereka ga’ ngaji fiqih apa? Atau jangan-jangan saya nih yang kurang ilmunya?
Alkisah lagi ternyata ada tiga opsi pandangan ulama menyikapi status najis atau sucikah binatang anjing ini? (Mohon para pakar fiqh ini dikoreksi jika ada kekeliruan, CMIIW):
Pertama, para ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa anjing najis secara kesuluruhan, baik segala yang kering dari anggota tubuhnya atau pun yang basah.
Kedua, ulama Mazhab Hanafi berpandangan status anjing itu pada dasarnya suci kecuali bagian yang basah dari anjing, seperti kencing, keringat, liur, dan segala yang basah hukumnya adalah najis.
Ketiga, menurut ulama Mazhab Maliki, status anjing suci secara keseluruhan tidak najis, baik bagian yang kering dari hewan mamalia itu ataupun yang basah.
Nah.
Jadi, Muslim Asia Tenggara kan Islam-nya mayoritasnya berfikih Mazhab Syafi’i. Inilah kira-kira antara lain yang menjelaskan kenapa ada semacam fobia anjing di masyarakat Muslim Indonesia.
Kemudian kadang orang pun kerap salah kaprah dalam menyikapi sesuatu. Misalnya kalau najis maka wajib dibasmi, maka anjing harus dibasmi, kan goblok. Analoginya, contoh tahi. Maka berhubung tahi itu najis maka ia wajib dibasmi, diinjak-injak sampai mati. Di mana saja ada tahi berada maka wajib dibasmi. Najis itu cuma kotor. Kalau terkena najis ya dicuci biar hilang, biar bersih, bisa disucikan lagi.
Oke silahkan kalau berfikih hewan anjing adalah najis, gak mau ketemuan apalagi kopdar, namun paling tidak jangan menyakiti mereka. Tetaplah kita memandang bahwa anjing juga sama-sama makhluk seperti kita, menghargai anjing maka sama dengan menghargai Sang Penciptanya, pun menghina anjing maka sama dengan menghina Yang Menciptakannya.
Iya, tak memelihara anjing tapi tetap dapat mengasihinya sebagaimana kita mengasihi hewan lain, seperti kucing, burung, kelinci, ayam, itik, kambing, dll. Tak bisa dekat-dekat tapi tetap bisa bersilaturahmi dari jarak jauh, saling kirim surat lewat wesel pos, video call, minimal lewat doa, misalnya.
Meski takut kena najis anjing (sebagaimana Mazhab Syafi’i, Hanbali atau Hanafi) namun tak menutup amal untuk peduli pada mereka, seperti ngasih makan, ngasih uang, membawa mereka ke puskesmas kalau lagi meriang, dll.
Intinya, semua yg ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah, langit dan bumi, planet-planet, sorga dan neraka, jin dan manusia, orang Islam dan orang bukan Islam, tumbuhan, hewan halal dan hewan najis semuanya adalah hamba-hamba Tuhan tanpa terkecuali.
Kepada makhluk lain janganlah menzolimi, termasuk kepada hewan. Kecuali misalnya kalau berpotensi membahayakan nyawa kita seperti ular berbisa masuk rumah, anjing rabies ngejar mau gigit bokong elu, gorila kingkong sange masuk kamar mau memperkosa, nah baru deh silahkan ado jotos demi membela diri.
Nah kalau pemahaman terhadap anjing tadi berdasarkan umat mainstream Asia Tenggara yang bermazhab Syafi’i, maka tengok ke Mazhab lain yang bukan mainstream zaman sekarang tapi mainstream-nya di masa lalu, di Era dinasti Abbasiyah.
Adalah Al-Jahiz yang ratusan tahun lebih dahulu menuangkan gagasan evolusi sebelum Charles Darwin lewat The Origin of Species-nya itu.
Al-Jahiz merupakan intelektual ternama di zamannya, penulis serba bisa, dan sangat produktif menulis karya-karya yang bermutu tinggi, salah satu karya terkenal beliau adalah Kitab al-Hayawan merupakan sebuah ensiklopedia zoologi yang terdiri atas tujuh volume.
Al-Jahiz ini punya guru namanya Al-Nazzam, salah satu peletak dasar teologi Mu’tazilah selain Washil bin Atha’. Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani Al-Bashri.
Saya nukilkan dari Ulil Abshar Abdalla:
*
“Mari kita ikuti penuturan Al-Jahiz mengenai pandangan gurunya, Al-Nazzam, perihal anjing.
Al-Nazzam tidak percaya pada hadis yang memuji kucing, seraya menistakan anjing. Hadis yang memuji kucing dan populer di kalangan umat Islam adalah riwayat Kabsyah, isteri seorang sahabat Ansar bernama Abu Qatadah.
Dalam hadis itu, kucing dipuji sebagai binatang yang suka “ngglendot” dan melekat pada manusia. Sementara anjing dikutuk dalam sebuah hadis sebagai binatang yang harus dibunuh.
Dalam hadis riwayat Abdullah Ibn Umar, anjing hitam (al-aswad al-bahim) bahkan digambarkan oleh Nabi sebagai reinkarnasi setan. Karena itu, harus dibunuh. Sebagaimana saya tunjukkan dalam esei sebelumnya, ini merefleksikan mitos kuno yang populer di beberapa masyarakat di luar Arab tentang anjing sebagai penampakan setan. (Bdk. Barbara Allen Woods, The Devil in Dog Form,1959).
Al-Nazzam, dengan menggunakan penalaran rasional, menolak kedua hadis tersebut. Mari kita dengar pendapat dia yang direkam oleh oleh Al-Jahiz dalam Kitab al-Hayawan (vol. 2. hal. 153). Kalian mengunggulkan kucing atas anjing, dan meriwayatkan hadis yang memerintahkan untuk membunuh anjing dan, sebaliknya, merawat kucing.
Padahal, kata Al-Nazzam dengan nada sinis, kalian tahu, keahlian kucing paling-paling hanya menangkap tikus. Bahkan tikus pun jarang ditangkap kucing. Alih-alih memburu tikus, kucing malah suka mengejar burung pipit yang biasa menjadi mainan anak-anak kalian. Kata Al-Nazzam lebih lanjut: Kalau pun kucing tak mengganggu barang-barang kalian, dia pasti akan mengganggu barang-barang milik tetangga kalian. (Tambahan dari saya: orang Jawa sering menyebut kucing cluthak atau kucing garong).
Sementara, keahlian dan manfaat anjing tak bisa diungkap oleh satu dua-buku, saking banyaknya. Kucing, lanjut Al-Nazzam, suka memangsa kalajengking, kadal, kecoa, belalang, tikus, ular, dan segala macam serangga yang kotor dan berbisa. Pokoknya, kucing itu gemar menyantap makanan-makanan kotor yang menjijikkan.
Dengan ini semua, kalian menganggap kucing lebih unggul dari anjing dan mengutip hadis untuk mendukungnya. Jelas tak bisa diterima akal sehat! Singkatnya, Al-Nazzam tidak percaya pada hadis kucing dan anjing. Sebab tak rasional.
Dia berpandangan bahwa hadis-hadis yang berlawanan dengan akal harus ditolak. Setahu saya, Al-Nazzam adalah satu-satunya pemikir dalam sejarah klasik Islam yang berani dengan tegas mengemukakan prinsip rasionalitas untuk menimbang hadis. Saya bayangkan, jika Al-Nazzam mengemukakan gagasannya itu sekarang, sudah pasti dia akan di-bully seantero dunia Islam.
Dengan menuturkan pandangan Al-Nazzam ini, bukan berarti saya mengampanyekan sentimen anti-kucing. Bukan. Saya kira, maksud Al-Nazzam juga bukan demikian. Dia hanya jengkel pada sentimen anti-anjing di zamannya yang dijustifikasi dengan hadits. Sekaligus menggambarkan kekesalannya pada cara berpikir orang-orang yang melulu merujuk pada hadis, seraya mengabaikan akal. Seolah-olah hadis adalah “conversation stopper“.
Kitab Al-Hayawan karya Al-Jahiz, murid Al-Nazzam itu, berisi banyak ulasan menarik tentang keunggulan dan keistimewaan anjing, dengan nada yang kadang nyinyir, kadang jenaka. Al-Jahiz memang seorang satiris dan sekaligus komedian. Sayang sekali, karya ini sudah jarang dikenal dan dibaca oleh publik Islam sekarang”.
**
Kemudian ada lagi yg menarik dari Imam Nawawi Al-Bantani (1813 M – 1897 M), seorang ulama Besar asal nusantara bertaraf internasional yang karyanya tersebar ke seluruh pelosok dunia. Di dalam kitab “Kasyifatus Saja (syarah Safinatun Naja)” menyebutkan bahwa anjing merupakan hewan istimewa. Ia memiliki sifat khas yang perlu dicontoh dan diteladani oleh semua orang mukmin yang hendak menempuh jalan keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Beliau menyebut sepuluh sifat anjing yang sangat terpuji sehingga perlu diketahui dan dijadikan pedoman oleh setiap orang mukmin.
Pertama, perut anjing senantiasa dalam keadaan lapar. Ini merupakan sifat dan ciri-ciri orang-orang sholeh.
Kedua , anjing tidak tidur kecuali hanya sebentar. Kebiasaan ini merupakan kebiasaan para ahli tahajjud.
Ketiga, ketika ia diusir bahkan sampai seribu kali dalam sehari, ia tidak akan pergi dari pintu tuannya dan akan tetap setia menjada pintunya. Ini merupakan sifat orang-orang yang jujur dan setia dalam mengabdi dan menyembah.
Keempat, ketika ia mati, ia tidak meninggalkan warisan apapun. Sifat ini merupakan sifat orang-orang yang zuhud.
Kelima, ia rela ditempatkan di tempat yang paling rendah. Sifat ini merupakan sifat dari orang-orang yang ridha atau ikhlas atas derajat yang diberikan Allah dan orang lain.
Keenam, ia melihat pada setiap orang yang memperhatikannya hingga memberikan sesuap makanan. Ini merupakan budi pekerti atau akhlak orang-orang miskin.
Ketujuh, ketika ia keluar dan dilempari debu, ia tidak marah dam tidak dendam. Hal ini merupakan sifat dari orang-orang yang berbelas kasih.
Kedelapan , ketika tempat tinggalnya telah ditempati hewan lain, maka ia akan berpindah ke tempat yang lain. Ini merupakan sifat orang-orang terpuji.
Kesembilan , ketika diberikan kepadanya hanya sesuap makanan, maka senantiasa menerima dan memakannya. Ini merupakan sifat dari orang-orang qana’ah atau menerima apa yang diberikan oleh Allah dan orang lain.
Kesepuluh , kemanapun anjing pergi, ia tidak pernah membawa bekal. Ini merupakan tanda-tanda dari sifat orang-orang yang bertawakal.
***
Ngebahas perkara anjing dalam konteks Indonesia pun mengingatkan juga pada sosok legendaris, seorang waliyyullah yang eksentrik di era Kesultanan Mataram Islam beberapa abad yang lewat, yakni Syekh Mutamakkin atau Mbah Mutamakkin (yang kemudian banyak melahirkan dzurriyat yg menjadi ulama-ulama terkenal dan kyai-kyai pemimpin pesantren di Tanah Jawa, di antaranya adalah Kyai Hasyim Asy’ari, KH. Sahal Mahfuz, dll).
Diriwayatkan, Mbah Mutamakkin selain miara anjing, beliau juga suka menonton wayang kisah Dewa Ruci dan Bima Sakti.
Masalahnya tidak itu saja, menjadi gaduh semakin “viral” lagi karena kedua anjing tersebut beliau namai dengan Abdul Kahar seperti nama Penghulu di Tuban, dan satunya lagi dinamai Kamarudin, nama khatib masjid besar Tuban.
Penutup,
Mari kita renungkan, dalam Al-Qur’an sendiri ada kisah populer ashabul Kahfi dan anjingnya yang mendapat derajat spesial di sisi Allah. Namanya adalah Qitmir, anjing yang setia menjaga dan menemani tujuh orang pemuda yang memegang teguh keimanannya. Berkat mencintai kekasih Allah maka anjing ini pun diangkat derajatnya menjadi kekasih Allah juga, bahkan ikut masuk sorga di akhirat kelak.
Anjing yang memperoleh kemuliaan juga terdapat dalam epos Mahabharata, setelah perang Bharata Yuda berakhir, para Pandawa meninggalkan Istana, menuju puncak Himalaya untuk mencapai moksa.
Satu-satu persatu dari mereka wafat dlm perjalanan, hanya tersisa Yudhistira dan seekor anjing yang setia menemani dalam perjalanan yang berat itu.
Dewa Indra muncul turun dari langit menaiki kereta emas mengajak Yudhistira menuju Surga.
Sayangnya, anjing yang setia itu tidak diperkenankan untuk ikut ke Surga. Yudhistira pun bersikeras. Kalau anjingnya tidak diperbolehkan mengikutinya ke Surga, ia pun tidak mau pergi. Yudhistira berkata kepada Dewa Indra bahwa setelah adik-adiknya meninggal, anjing itulah yang dengan setia menemaninya. Tidak mungkin baginya meninggalkan anjing tersebut.
Kiranya cukup sekian coretan saya, semoga ada manfaatnya, kalau kamu tidak mendapatkan manfaatnya juga tidak apa-apa, mungkin itu karena ilmu kamu yang sudah terlalu tinggi, afwan mohon dibagi ilmunya.
Saya simpulkan saja,
1.Hormatilah semua makhluk, termasuk anjing. Bersikaplah adil, termasuk kepada anjing. Janganlah selalu berprasangka buruk terhadap mereka.
2.Kurangilah suka mengumpat mencela orang dengan sebutan anjing, itu adalah sifat yang tercela dan melanggar hak asasi anjing, apa salah mereka?
3.Nama-nama hewan biasa disebut kalau menghina sesama manusia, menyiratkan seakan-akan hewan itu jelek, padahal segala kerusakan di muka bumi ini adalah ulah manusia, bukan ulah hewan. Manusialah penjahat sebenarnya yang hakiki.
4.Kita sering berujar kepada orang “Dasar hewan, binatang!” itu kita tak tahu aja kalau dalam obrolan sehari-hari para hewan mereka juga ngebalas, ketika ada sesama mereka yang kurang ajar mereka pun berkata “Dasar manusia” sambil ngakak mereka saking muaknya.
5.Mengumpat pakai sebutan anjing itu selain kasar dan diskriminasi terhadap anjing juga adalah pertanda ia kurang wawasan kebangsaan. Maka, berhentilah menyebut anjing terus, bisa diganti dengan satwa lain seperti komodo, tapir Asia, badak Jawa, harimau Sumatera, anoa, orang utan, cendrawasih, perkutut, ayam bekisar, maleo, bekantan, babi rusa, ular sawah, dll lebih bagus, semacam seni mengumpat bercampur kearifan lokal sekaligus melestarikan satwa-satwa khas Indonesia.
Wassalamualaikum, wr wb.
Penulis merupakan seorang Gusdurian. Santri NU. Tinggal di Banjar, Kalimantan.