PIRAMIDA.ID- Kekurangan dan kelebihan punya masalah yang sama. Pada prinsip pasar misalnya, bila satu produk terlalu sedikit maka akan langka dan harganya menjadi terlalu mahal, bahkan mencekik leher. Tapi bila berlebihan, maka harganya akan terlalu rendah, sehingga menjadikan petani merugi.
Bicara masalah eksistensialis, maka krisis eksistensi kerap menjadi perbincangan utama. Sartre, Camus, Karl Jesper dan sejumlah filsuf ekstensialis lainnya kerap menyampaikan gagasan terkait “kekurangan” eksistensi. Bagaimana bila kelebihan?
Salah satunya adalah kelebihan percaya diri yang disebut oleh sejumlah pakar sebagai overconfidence effect alias efek terlalu percaya diri.
Anda mungkin hanya mengira bahwa hal ini berlaku untuk orang-orang yang lantang berbicara, terlalu percaya diri untuk maju ke depan menampilkan dirinya dan sebagainya. Ternyata, ada orang-orang yang justru terlalu pendiam juga mengidap “penyakit” ini.
Ciri khas pertama adalah orang-orang ini kerap memandang rendah orang lain, menganggap mudah suatu perkara terlalu gampang menilai sesuatu yang bahkan ia tidak mengerti sama sekali.
Seperti menilai suatu film terlalu jelek atau malah terlalu bagus, padahal ia tidak mengerti sedikitpun tentang keaktoran, sinematografi dan sebagainya.
Kondisi yang paling sering ditemukan adalah ketika seseorang hanya mengerti 10 – 20% dari suatu perkara, tetapi mengira dirinya telah mengerti 100%. Ini kondisi yang paling sering ditemukan di Indonesia.
Seperti penelitian yang dilakukan Svenson di tahun 1981 menghasilkan bahwa 93% dari semua pengendara yang ditelitinya mengaku telah mampu mengendara dengan baik, sebaik pengendara profesional.
Berarti, hanya 7% saja di antara pengendara yang menyadari bahwa dirinya belum bisa mengendarai kendaraan sebagai mana pengendara profesional. Namun, angka keyakinan para pengendara tersebut tidak sebanding dengan angka kecelakaan yang sering terjadi di Amerika. Hal itu pula yang disebut oleh para ahli psikologi sebagai efek overconfidence.
Ada banyak hal lain yang kemudian dikaitkan dengan efek overconfidence ini. Misalnya, ilusi terhadap kontrol (illusion of control) yang menjadikan seseorang mengira kontrolnya terhadap sesuatu itu sama dengan orang lain yang profesional.
Atau, seseorang yang mengira dirinya memiliki kontrol terhadap orang lain. Hal itu biasa terjadi pada seseorang yang mendapatkan jabatan.
Ada juga gagal perencanaan alias planning fallacy. Hal itu diartikan sebagai seseorang yang sejak tahap perencanaan sudah salah memberikan nilai terhadap hasil pekerjaannya nanti.
Atau, ia terlalu percaya diri bahwa hasil pekerjaannya akan menjadi sangat baik dan memukau. Padahal, prosesnya bahkan belum mulai.
Di Indonesia, banyak orang-orang yang mengira dirinya mengerti sastra, lalu bicara tentang sastra sebagaimana orang-orang yang ahli atau setidaknya menghabiskan waktu untuk mempelajari itu.
Begitu pula di seni lain, seperti teater. Ada banyak orang-orang yang mengira dirinya sudah sangat mengerti teater, padahal baru mempelajari teknik dasar keaktoran. Atau malah, belum mempelajari apapun.
Sama seperti kekurangan kepercayaan diri, kelebihan kepercayaan diri juga menghancurkan seseorang. Ia menjadi kehilangan identitasnya, kehilangan jati diri dan hanya hidup di dalam sebuah ilusi.
Sebagaimana ilusi tentang masuk surga yang dengan angkuh diakui hanya oleh satu agama. Ia sudah terlalu yakin bahwa dirinya akan mendapatkan hasil terbaik di akhir nanti, sedangkan orang lain yang berusaha mati-matian tetap dipandang sebelah mata.
Maka jadilah efek overconfidence ini sebagai bentuk krisis eksistensialis lainnya. Seseorang yang tidak tahu arah dirinya, nyatanya sama saja dengan seseorang yang “menyangka” dirinya tahu arah dirinya. Keduanya akan bermuara ke satu jenis manusia: manusia yang kehilangan eksistensinya.
Pada akhirnya, mungkinlah kita ini cerdas. Tapi, kita tak secerdas yang kita kira.
Source: Pojok Seni.