PIRAMIDA.ID- Rabu siang, Effendi Buhing tampak duduk di teras rumah sambil mengunyah sirih saat menerima polisi dengan pakaian hitam-hitam. Dari kaos oblong, celana dan topi, berwarna hitam. Petugas tampak menunjukkan surat tugas dan surat penangkapan.
Petugas mengatakan ingin membawa Buhing. Buhing menolak.
“Kita harus jelas, Pak, kasusnya apa?”
“Ya kasus perampasan chainsaw itu,” jawab aparat.
Terjadi adu argumen. Sampai kemudian beberapa aparat yang berdialog dengan Buhing menyatakan agar dibawa saja dulu. Buhing diseret tiga polisi. Suasana kampung yang sepi, mulai ramai. Terdengar tabuhan kentongan tanda memanggil warga.
Aparat kemudian bergerak cepat. Buhing terus diseret, sambil meronta-ronta ke muara jalan tempat mobil aparat berada. Di muara jalan kecil itu, dia disambut empat personel polisi bersenjata laras panjang.
Pada 26 Agustus itu, Elisabet, istri Buhing, sempat merekam video penangkapan, yang kemudian menyebar ke banyak aktivis pendamping Laman Kinipan dan muncul di berbagai media sosial.
Effendi Buhing adalah Ketua Adat Laman Kinipan di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Komunitas adat ini bersengketa lahan dengan perusahaan sawit, PT Sawit Mandiri Lestari (SML) sejak awal. Mereka berupaya mempertahankan hutan adat, yang sudah menjadi ruang hidup selama turun menurun.
Sebelum Buhing, lima warga adat Kinipan, yang lain sudah duluan diamankan ke Polda Kalteng. Mereka adalah Riswan, pemuda adat Kiinipan, ditangkap polisi pada Sabtu pekan lalu, 15 Agustus 2020. Kemudian, Yefli Desem, Yusa, Muhammad Ridwan dan Embang. Mereka kena tuduhan pencurian satu satu gergaji mesin (chainsaw) perusahaan disertai tindakan kekerasan.
Kombes Pol. Hendra Rochmawan, Kadiv Humas Polda Kalteng, dalam rilis kepada media mengatakan, dugaan pidana pencurian dengan kekerasan sebagaimana dalam Pasal 365 KUHPidana dengan barang bukti satu) chainaw merek milik SML.
Dia cerita, pada 23 Juni 2020 di Blok J047 Affdeling Charlie Tanjung Beringin Estate, Desa Batu Tambun, Batang Kawa, Lamandau, Asmani dan Herman, karyawan SML sedang beristirahat. Mereka selesai melakukan potong kayu dengan chainsaw.
Riswan, Teki, Embang, dan Semar datang. Dia bilang, Riswan dkk merampas mesin gerjaji yang digunakan Asmani dan Herman dengan alasan mereka bekerja di wilayah Desa Kinipan. Hendra bilang, mesin gergaji belum kembali. Mereka kena pasal juga perampasan atau 365 KUHP, Lalu, Teki, Semar dan Embang juga jadi tersangka perampasan dan pengancaman.
Dalam perkembangan penyidikan dan pemeriksaan Riswan dkk, katanya, disimpulkan yang menyuruh, Effendi Buhing. Buhing pun dijemput paksa.
Bagaimana asal muasal tudingan pencurian itu? Ceritanya, Komunitas Laman Kinipan makin rutin mengawal hutan tersisa mereka pada 2020. Setiap ada aktivitas perusahaan di hutan, mereka suruh pulang.
Pada Juni 2020, mereka bahkan bergantian berjaga di perbatasan hutan yang sudah dibabat dan masih tersisa. Mereka membangun portal pohon tumbang, dan pondok jaga.
Pada 22 Juni 2020, sekitar pukul 09.000 WIB, warga di pondok jaga kedatangan sekitar 50-an orang perusahaan. Mereka, menggunakan sejumlah mobil dan membawa alat berat. Mereka meminta warga yang berjaga membuka portal. Meski kalah jumlah orang, warga menolak. Sempat terjadi debat dan teriakan-teriakan, hingga perusahaan mundur.
Pada 23 Juni itu, warga Kinipan seperti biasa berjaga di hutan adat mereka, di hulu Sungai Toin. Mereka mendengar suara mesin gergaji yang menandai ada aktivitas pemotongan kayu.
Saat itu, Riswan pemuda adat Kinipan, dan beberapa rekannya mendatangi dan hentikan penebangan. Mereka menyita sebuah mesin gergaji kayu. Kejadian ini tanpa kekerasan.
Alat berat sudah memasuki areal bekas perladangan warga. Di hari sama, ada kesepakatan lisan antara humas perusahaan dengan warga kalau tidak akan ada aktivitas lanjutan sembari menunggu proses mediasi di Kantor Camat Batang Kawa, Desa Kinipan 22 Juli 2020.
Mediasi gagal. Pada 16 Agustus, Riswan ditangkap.
Perusahaan membenarkan laporan mereka ke polisi. Wendi Soewarnao, Kepala Humas PT SML dalam rilis menyerahkan sepenuhnya proses kepada Polda Kalteng.
Penebangan kayu karyawan SML untuk jadi jembatan titian panen dan keperluan kamp karyawan dan lain-lain. “Di luar dari desa, sangat jauh,” katanya.
Ferdi Kurnianto, penjabat Ketua BP AMAN Kalteng mengatakan, proses penangkapan warga Kinipan atas laporan perusahaan berbanding terbalik dengan laporan warga.
“Beberapa kali warga melaporkan aktivitas SML seperti pencemaran lingkungan, penjualan aset desa dan lain-lain. Sampai dengan saat ini tidak pernah direspon dan ditanggapi kepolisian,” katanya dalam konferensi pers daring, 24 Agustus lalu.
Negara, katanya, harus segera menghentikan segala bentuk pembungkaman warga Kinipan melalui kriminalisasi atas perjuangan mereka dalam mempertahankan ruang hidup, wilayah, dan hutan adat dari pembukaan oleh SML.
Semestinya, negara beri perlindungan bagi warga Kinipan dan memastikan rasa aman bagi mereka. “Bukan sebaliknya melakukan tindakan-tindakan represif dan intimidatif atas perjuangan warga.”
Dia mendesak, pemerintah segera menyelesaikan konflik lahan antara Kinipan dengan SML.
Konflik lahan
Buhing, sebagai Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, sudah beraliansi dengan komunitas adat se-nusantara melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dia juru bicara terdepan bagi sebagian besar warga Kinipan yang bersepakat, mengusulkan wilayah desa dan hutan agar diakui iakui sebagai wilayah adat.
Wilayah Kinipan sudah pemetaan partisipatif didampingi AMAN. Mereka mendeklarasikan hasil pemetaan akhir April 2016. Pada 2017, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), organisasi masyarakat sipil yang mendorong pengakuan wilayah dan hutan adat, memverifikasi kelayakan usulan itu.
Pembuatan peta partisipatif, tak lantas pengakuan dan perlindungan wilayah adat Kinipan terwujud. Bahkan, izin kepada perusahaan sawit pun keluar dan masuk wilayah adat mereka.
Pihak desa dan tetua adat merasa, izin itu keluar tanpa persetujuan dari mereka. Tak ada persetujuan bebas tanpa paksaan atau free, prior, informed and consent (FPIC) dalam proses ini.
Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, masyarakat adat Laman Kinipan sejak lama menolak adanya investasi perkebunan sawit. Wilayah kelola adat mereka merupakan hulu dari Kabupaten Lamandau.
Konflik terjadi sejak 2012. Sayangnya, penolakan ini tidak mendapatkan respon baik oleh perusahaan maupun pemerintah.
Pemerintah desa dan tetua adat, katanya, tidak pernah membubuhkan tanda tangan persetujuan perusahaan perkebunan sawit masuk.
Dia bilang, konflik kemudian memanas sejak SML land clearing, menebang banyak pohon ulin dan membabatan hutan awal 2018.
Permintaan dan desakan warga Kinipan agar SML menghentikan aktivitas, tak dihiraukan. Konflik berlarut-larut tanpa ada penyelesaian.
Sampai, awal 2018, perusahaan mulai membuka hutan (land clearing). Kinipan protes, mereka melawan. Berbagai aksi dari daerah sampai ke pusat, mereka lakukan.
Mereka melapor ke Jakarta pada Juni 2018. Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Komnas HAM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mereka sambangi, untuk mengadukan masalah ini.
“Warga sudah melakukan beberapa kali pelaporan bahkan sampai ke pemerintah pusat. Warga lapor ke Komnas HAM, KSP, Kementerian ATR/BPN dan KLHK. Hingga dua kali mediasi di Kantor KSP di Jakarta.”
KSP pun sempat turun ke Kinipan, untuk memverifikasi masalah ini pada Januari 2019. Mereka kemudian mengundang Kinipan, perusahaan, dan pemerintah daerah, membicarakan kasus ini awal Agustus 2019. Namun, perusahaan dan pemerintah daerah tak hadir saat itu. Konflik berlarut.
Buhing bebas, yang lain penangguhan?
Kamis, 27 Agustus jelang sore, sebuah video Youtube berdurasi 14 detik tersebar. “Viral, Akhirnya Effendi Buhing Cs Bebas Tanpa Syarat.” Belakangan menyusul video, Buhing duduk di sofa, menyatakan kalau dia baik-baik saja. Dia bilang, ada kesalahpahaman atas penangkapan dia kemarin. Buhing pun menyatakan, akan pulang kampung hari itu. Buhing cs bebas?
Humas Polda Kalteng, bilang penangguhan penahanan. “Penyidik Polda Kalteng tetap professional. Untuk tersangka Effendi Buhing tidak penahanan karena berjanji kooperatif, yang bersangkutan bersedia hadir oleh penyidik guna pemeriksaaan. Demikian untuk empat tersangka sudah ditangguhkan,” kata Kombes Pol. Hendra Rochmawan, Kabid Humas Polda Kalimantan Tengah.
Hendra juga menyebut, banyak pihak yang turut membantu mengajukan dan menjadi penjamin untuk penangguhan penahanan warga Kinipan itu. “Banyak pihak (yang mengajukan penangguhan penahanan-red), pengacara, DAD (Dewan Adat Dayak-red), tokoh masyarakat Kinipan dan lain-lain,” katanya.
Tak lama menyebar surat pembebasan Buhing. Buhing bebas dari ‘dugaan tersangka’ dengan alasan belum cukup bukti, sedangkan warga adat Kinipan yang lain penangguhan penahanan.
Sebelum itu, pasca penangkapan Buhing, video penangkapan menyebar di sosial media. Protes dan suara rakyat meminta aparat melepaskan Buhing dkk pun muncul dari berbagai kalangan., baik organisasi masyarakat sipil sampai para netizen.
Koalisi Keadilan untuk Kinipan mengecam penangkapan Effendi Buhing. “Penangkapan terhadap Effendi Buhing, patut diduga terkait gencarnya penolakan yang dilakukan masyarakat adat Laman Kinipan terhadap upaya perluasan kebun sawit SML,” bunyi rilis media Koalisi Keadilan untuk Kinipan. Koalisi ini terdiri dari AMAN Kalteng, Walhi Kalteng, dan Save Our Borneo.
“Sebelum penangkapan ini, eskalasi kekerasan, teror dan berbagai bentuk intimidasi menimpa masyarakat adat Laman Kinipan, mulai dari penebangan hutan, penggusuran lahan, upaya mengkriminalisasi Kepala Desa, penangkapan terhadap empat warga, hingga penangkapan Riswan.”
Koalisi mengecam penangkapan paksa Effendi Buhing, yang tak pernah dimintai keterangan sebagai saksi itu. Mereka menuntut Polda Kalteng segera membebaskan Buhing. Mereka juga meminta penghentian kriminalisasi terhadap tetua, tokoh adat dan pejuang lingkungan.
“Kami juga mendesak pemerintah evaluasi izin Sawit Mandiri Lestari yang beroperasi di wilayah adat Kinipan.”
Kecaman sama juga datang dari Jakarta. Koalisi Nasional Pembaruan Agrari (KNPA). Selain menuntut Polda Kalteng membebaskan Buhing dkk., mereka juga mendesak presiden, memerintahkan kapolri, Kepala KSP, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri ATR/BPN dan SM menghentikan perampasan wilayah adat dan kriminalisasi masyarakat Laman Kinipan.
KNPA juga meminta KLHK mencabut surat keputusan yang keluar 2015 soal izin pelepasan hutan untuk SML seluas 19.091 hektar. Juga Kementerian ATR/BPN mencabut surat keputusan mereka pada 2017 yang memberikan hak guna usaha (HGU) paa SML seluas 9.435 hektar.
Mereka juga mendesak, Pemerintah Kalteng dan Lamandau mengakui sekaligus menetapkan wilayah adat Laman Kinipan.
“Pak Effendi Buhing sudah kembali ke rumahnya di Laman Kinipan. Perjuangan beliau dan komunitas adatnya masih panjang untuk membebaskan Laman Kinipan dari ekspansi sawit PT. Sawit Mandiri Lestari,” kata Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional, dalam postingannya di Facebook.
Artikel ini ditulis oleh Indra Nugraha, Yusie Marry, dan Sapariah Saturi. Disadur dari Mongabay Indonesia untuk kepentingan informasi publik. Baca sumber di sini.