Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Senin, Juni 30, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Dekolonisasi Sains: Merdekakan Ilmu Pengetahuan dari Ketergantungan pada Barat

by Redaksi
10/03/2022
in Dialektika
100
SHARES
715
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Oleh: Fajri Siregar*

PIRAMIDA.ID- Di komunitas akademik global, ada pandangan bahwa ilmuwan Indonesia menyerap perkembangan sains layaknya mengikuti sebuah tren belaka.

Ini terlihat dalam ilmu sosial dan humaniora. Perkembangan teori di lingkup global kerap jadi acuan akademisi Indonesia dalam pengajaran, penelitian, dan bahkan sebagai bahan obrolan antara sesama akademisi.

Pada periode 1990-an, misalnya, semua ilmuwan tergelitik untuk bicara postmodernism (sikap kritis dan skeptis terhadap wawasan ilmu modern). Sementara pada dekade 2000-an, perspektif cultural studies (membedah politik dan sejarah dari beragam budaya yang ada saat ini) menjadi juara setelah menurunnya popularitas teori sosial lainnya.

Ajakan untuk lepas dari tradisi “ikut-ikutan” ini sebenarnya sudah muncul sejak puluhan tahun yang lalu.

Pada 1986, ilmuwan politik Muhammad Rusli Karim via Harian Kompas menjelaskan pentingnya ilmuwan Indonesia mencari teorinya sendiri. Sastrawan dan sosiolog Ignas Kleden pun berupaya memperkenalkan wacana “indigenisasi” (pembumian wawasan adat di Indonesia) terhadap ilmu sosial.

Ide-ide tersebut sayangnya hanya terdengar sayup di tengah dominasi ilmu sosial global yang pro-pembangunan.

Dewasa ini, ada momentum baru bagi komunitas akademik Indonesia untuk melepaskan diri dari ketergantungan teori asing, yakni melalui gerakan “dekolonisasi sains” (dekolonisasi pengetahuan).

Meski belum banyak diadopsi oleh ilmuwan Indonesia, dekolonisasi sains menawarkan pijakan penting supaya dunia pendidikan tinggi dan dan sains di Indonesia bisa menemukan suaranya sendiri.

Memerdekakan sains dari watak kolonialis

Dekolonisasi sains adalah ajakan keluar dari dominasi produksi pengetahuan yang berkiblat pada negara kolonial – lebih khususnya dunia Barat (eurosentrisme) – agar muncul lebih banyak ruang ilmiah bagi akademisi di penjuru dunia lain.

Dalam pandangan dekolonisasi, ilmu pengetahuan kini terpusat di peradaban Barat, sementara pelaku sains dari wilayah yang mereka jajah selalu hanya jadi objek pengetahuan.

Dengan demikian, “kita”, para ilmuwan negara non-Barat, tidak memiliki otoritas untuk menyelediki diri sendiri, apalagi mengangkat derajat pengetahuan yang barangkali sudah tersedia dari berbagai abad terdahulu di komunitas yang kita kenal.

Bahkan, pandangan sains yang berwatak kolonialis ini seringkali bersifat rasis – seperti menggambarkan orang “kulit berwarna” atau masyarakat negara Selatan sebagai pihak yang tidak cerdas atau abnormal.

Upaya untuk lepas dari dominasi ini, khususnya di pendidikan tinggi, sudah dimulai sejak munculnya gerakan dekolonisasi pada dekade 1960 di Afrika Timur.

Dekolonisasi sains pada era saat ini merupakan bagian dari gerakan emansipatif (pembebasan) yang lebih luas. Misalnya, ini juga didorong oleh gerakan sosial lain di luar universitas yang menyuarakan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial – dari Black Lives Matter hingga #Metoo.

Tapi, hal yang paling penting dari dekolonisasi sains adalah upaya untuk keluar dari kemutlakan sains yang lahir dari proses penjajahan.

Setidaknya, ini adalah tujuan besar para ilmuwan yang mendorong wacana dekolonisasi. Sebagian besar dari penulis tersebut berasal dari Amerika Latin, Asia Selatan, dan juga Afrika.

Dekolonisasi sains di Indonesia

Sayangnya, hampir tidak ada ilmuwan sosial dari Indonesia yang turut meramaikan diskursus tersebut.

Hal ini cukup ironis. Ilmuwan sosial Walter Mignolo, misalnya, menekankan bagaimana Indonesia pernah punya peran besar dalam dekolonisasi politik global, yakni melalui Konferensi Asia Afrika.

Indonesia senantiasa mendukung upaya memerdekakan negara terjajah, tapi tidak banyak ilmuwan sosial kita melakukannya dalam ranah teori sosial.

Alasan atas kelangkaan ini terkait erat dengan pemberangusan literatur kiri atau Marxisme yang terjadi sejak 1965. Kekuasaan Orde Baru ini menjadi alasan besar mengapa pemikiran pascakolonial, dekolonial, atau bahkan Marxisme tidak memiliki pijakan yang kuat dalam ilmu sosial-humaniora Indonesia.

Padahal, kita bisa melihat jejak-jejak lensa kolonial dalam sains di Indonesia – tidak hanya pada ilmu sosial tapi juga ilmu alam.

Ilmu eksakta seperti biologi dan kedokteran perlu membuka diri dengan pertama-tama mempertanyakan asal-usul seluruh fondasi ilmiahnya, terutama yang relevan dengan konteks Indonesia.

Peneliti biologi Sabhrina Gita Aninta, misalnya, menjelaskan bias perspektif Barat yang seakan “kaget” saat meneliti biodiversitas di wilayah ekuator yang begitu kaya. Bahkan, beberapa akademisi juga mempertanyakan penamaan fauna seperti orang utan yang prosesnya sarat dengan politik imperialis dan menyingkirkan wawasan Suku Dayak Iban di Kalimantan.

Indonesia masih menjadi rumah bagi untaian wawasan lokal yang belum kita kenali dan beri nama. Beda halnya dengan para rekan sejawat di Amerika Latin, yang berhasil melunturkan ketergantungan pada pengetahuan Barat sembari merayakan pengetahuan lokal yang mereka miliki.

Gagasan soal “pluriverse”, yakni kumpulan wawasan yang berupaya menantang narasi pembangunan global yang sarat kepentingan bisnis dan greenwashing (klaim ramah lingkungan yang menyesatkan), misalnya, adalah contoh pengetahuan tandingan yang mulai populer dan diterima komunitas ilmiah global.

Upaya seperti ini bisa jadi inspirasi bagi ilmuwan Indonesia untuk mencoba berpikir dengan semangat dekolonisasi.

Meraih derajat yang sama

Selama ini, ada kejemuan di antara ilmuwan Indonesia terhadap dominasi teori yang ada. Ini kemudian mendorong mereka untuk mengikuti tren revolusi keilmuan – seringkali yang berkiblat pada dunia Barat.

Tapi, bisa jadi kecenderungan tersebut bersumber dari rasa inferioritas ilmuwan Indonesia yang sulit memaparkan gagasannya tanpa ditopang teori yang mereka rasa cukup “keren”.

Faktor ini justru semakin memperkuat dominasi pengetahuan Barat.

Dalam artikelnya, sosiolog Leon Moosavi mengingatkan para akademisi agar tidak sekadar “anut grubyuk” (ikut-ikutan), dan harus segera menunggangi gerbong dekolonisasi karena sedang ramai dinaiki oleh semua orang.

Persoalannya di Indonesia justru terbalik karena gerbong tersebut sepi senyap, meski kereta sudah menunggu lama untuk meluncur.

Catatan penting lainnya adalah bahwa dekolonisasi sains bukan hanya soal kebijakan. Sudah terlalu banyak persoalan dalam ranah sains di Indonesia yang semuanya ingin dijawab dengan “kebijakan”. Tidak demikian halnya dengan dekolonisasi sains – ini adalah persoalan tradisi akademik.

Dekolonisasi sains berangkat dari kemauan untuk melihat ke dalam disiplin ilmu masing-masing dan bertanya soal ada tidaknya kemungkinan untuk melakukan pencarian kebenaran tanpa harus bergantung pada pemikiran ilmuwan Barat.

Salah satu pemikir dekolonisasi, Gurminder Bhambra, mengingatkan bahwa dekolonisasi bukan berarti menolak teori Barat – tujuannya tidak pernah demikian.

Yang lebih tepat adalah perlunya menempatkan teori atau wawasan ilmiah dari dunia Selatan dalam derajat yang sama dan setara dalam produksi pengetahuan global. Hal ini yang pada akhirnya secara perlahan harus menjadi tujuan ilmuwan Indonesia.(*)


Penulis merupakan Kandidat Ph.D dari Universitas Amsterdam. Tulisan ini merupakan republikasi dari The Conversation.

Tags: #dekolonisasi#ilmuwan#Indonesia#Sains
Share40SendShare

Related Posts

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023

Oleh: Muhammad Muharram Azhari* PIRAMIDA.ID- Pengertian disiplin menurut Elizabeth Hurtock mengemukakan bahwa; Disiplin itu berasal dari kata "discipline", yaitu seseorang...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Robot Polri Tuai Kritik Netizen, Fawer Sihite: Inovasi Harus Disambut Baik, Tapi Polri Perlu Bangun Instrumen Komunikasi yang Efektif

30/06/2025
Berita

Tokoh Cipayung Plus Gabung Golkar Lewat AMPI, Jefri Gultom: Politik Adalah Etika untuk Melayani

28/06/2025
Berita

Tokoh Cipayung Plus Login Golkar Pada HUT AMPI, Bahlil Lahadalia : Adik-Adik Saya Sudah di Jalan Yang Benar

28/06/2025
Berita

IRKI Nilai Tafsir UU Tipikor atas Pedagang Pecel Lele Menyesatkan

22/06/2025
Dunia

Perang Israel-Iran Menunjukkan Pentingnya STEM, Fawer Sihite: Dukung Sikap Presiden Prabowo

22/06/2025
Berita

Buntut Viralnya Dugaan Kekerasan Terhadap Tunanetra di Siantar, ILAJ Minta KND Periksa Wali Kota dan Jajaran Terkait

19/06/2025

Populer

Berita

Tokoh Cipayung Plus Login Golkar Pada HUT AMPI, Bahlil Lahadalia : Adik-Adik Saya Sudah di Jalan Yang Benar

28/06/2025
Edukasi

Keterbatasan Jumlah Guru Terampil

09/12/2021
Berita

Tokoh Cipayung Plus Gabung Golkar Lewat AMPI, Jefri Gultom: Politik Adalah Etika untuk Melayani

28/06/2025
Dunia

Sumber Air Bersih dan Air Minum di Arab Saudi

07/06/2020
Dunia

Perang Israel-Iran Menunjukkan Pentingnya STEM, Fawer Sihite: Dukung Sikap Presiden Prabowo

22/06/2025
domain publik
Dialektika

Daoed Joesoef, Hakikat Pendidikan, dan Nilai Keindonesiaan

17/09/2021
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba