Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Selasa, Juli 15, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Dinasti Politik dan Nasionalisme Generasi Milenial

by Redaksi
02/11/2020
in Dialektika
98
SHARES
701
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Aris Santoso*

PIRAMIDA.ID- Kita seolah mundur ke abad pertengahan, ketika feodalisme seolah bangkit kembali. Feodalisme yang dulu ditumpas habis oleh Generasi 45, kini sedang mencari jalan untuk kembali.

Dinasti politik harus dilawan, karena kurang memberi kesempatan pada anak-anak dari rakyat jelata untuk tampil sebagai pemimpin, seberapa pun hebatnya anak tersebut. Selain itu, dinasti politik juga kurang memenuhi asas keadilan, karena ingin terus berupaya menghegemoni kekuasaan politik dan sumber daya ekonomi.

Bagi generasi milenial Jakarta, sudah muncul olok-olok, bahwa politik Indonesia tengah dikuasai GAM (Gabungan Anak Menteng), yang mengacu pada sebuah kawasan elite  (juga vintage) di Jakarta. Tentu salah satu yang dimaksud adalah Jalan Cendana atau Jalan Teuku Umar. Sejak lama telah dikenal trah Cendana, yakni dinasti politik anak-cucu Soeharto, utamanya  merujuk pada Mas Tommy dan Mbak Titik. Sementara Jalan Teuku Umar, adalah rumah keluarga besar Megawati Soekarnoputri.

Elite politik negeri ini, sejak dulu memang umumnya tinggal di kawasan Menteng, termasuk Bung Hatta (Jl Diponegoro), M Natsir (Jl Jawa) dan Sutan Sjahrir (Jl Latuharhary), kecuali Tan Malaka, yang tidak pernah kita ketahui dimana rumah tinggal pribadinya. Yang membedakan elite terdahulu dan elite sekarang adalah soal gaya hidup dan kesejahteraan, elite terdahulu dikenal sangat bersahaja, tidak tamak terhadap harta.

Aktualisasi nasionalisme 

Kecenderungan munculnya dinasti politik adalah bukti kebebalan generasi tua, yang tidak sadar akan arus zaman yang berubah secara cepat. Generasi tua lupa, bahwa arus globalisasi menjadikan masa lalu tidak bisa selalu dijadikan pegangan. Tantangan bisa datang dari masa depan dengan kecepatan supersonik. Bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi pada masyarakat kita kelak, bila dinasti politik hidup lagi.

Kaum tua seolah lupa sejarah, bahwa selalu ada kesenjangan — lebih tepat lagi ketegangan – antargenerasi di negeri ini.  Salah satu yang paling gamblang,  adalah ketegangan antara Generasi 1966 yang sangat pro rezim Orde Baru, berhadapan dengan generasi Malari (1974), yang mulai bersikap kritis terhadap Orde Baru.

Generasi Malari telah menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk terus melawan rezim Orde Baru, hingga  Soeharto benar-benar turun pada Mei 1998. Bila generasi 1966 saja sudah diabaikan, bisa kita bayangkan bagaimana kondisi generasi yang lebih lampau, yaitu Generasi 1945, tentu citranya lebih suram lagi. Bila generasi milenial masih bersedia mengingat Generasi 45, itu lebih karena rasa belas kasihan, bukan karena performa Generasi 45.

Bagaimana tidak, Generasi 45 selalu membanggakan semangat nasionalismenya, ironisnya semangat nasionalisme itu mereka hanguskan sendiri, melalui serangkaian tindak korupsi, penindasan rakyat, pelanggaran HAM, dan seterusnya, saat Generasi 45 mencapai puncak kekuasaannya, dengan sosok Soeharto sebagai representasinya.

Tradisi kekuasaan yang dulu dikembangkan Generasi 45, sampai kini masih meninggalkan jejak kuat. Seperti yang pernah dikatakan tokoh Gerakan Malari 1974 Hariman Siregar, bahwa demokrasi hari ini adalah demokrasi yang sudah dibajak dengan uang, dibajak dengan orang kaya dan menciptakan dengan prosedur yang sangat mahal.

Pilar gerakan civil society

Nasionalisme (versi) generasi milenial telah terbukti menjadi pilar gerakan civil society hari ini. Salah satu yang fenomenal, adaah generasi milenial yang tergabung dalam Aksi Kamisan, yang kini sedang rehat sejenak karena pandemi. Tentu ada banyak komunitas dan kantong generasi milenial lain.

Seperti gerakan masif tahun lalu, yang memberi dukungan pada KPK, yang sedang dicoba dilemahkan secara terstruktur melalui revisi UU KPK (2019). Kemudian aksi menentang tindakan ormas vigilante yang secara kasatmata merendahkan saudara-saudara kita asal Papua.

Kiprah generasi baru telah menjadi ikonik di tengah gelombang gerakan civil society. Mereka adalah generasi aktivis yang berani menyatakan hati nuraninya, walaupun bertentangan dengan penguasa. Sebuah generasi  yang tidak mencari kekayaan melulu, namun keadilan dan kebenaran. Apa boleh buat, bila saya harus mengatakan bahwa generasi ini sebagai pelanjut cita-cita humanisme universal, yang dulu coba disemaikan Sutan Sjahrir dan Soe Hok Gie.

Dari observasi lapangan, salah satu temuan menarik adalah, mereka bukannya tidak tertarik pada politik dan kekuasaan, namun mereka memiliki peta jalan sendiri untuk mengekspresikan aspirasi mereka. Keterlibatan dalam aksi Kamisan, merupakan salah satu bentuk ekspresi mereka membela korban pelanggaran HAM.

Ketika elite di Istana tidak pernah merespons aksi Kamisan, padahal aksi itu hanya sepelemparan batu jaraknya dari Istana, bisa kita tebak bagaimana pandangan generasi milenial terhadap kekuasaan.

Wajar bila mereka kemudian bersikap dingin terhadap kekuasaan. Mereka tidak peduli dengan keberadaan generasi milenial yang menjadi staf khusus Presiden Jokowi, yang pada akhirnya publik juga tahu, bagaimana kualitas pejabat publik karbitan seperti itu. Atau ada sebagian generasi milenial yang memburu remah-remah kesejahteraan dari penguasa, dengan profesi yang masih terdengar aneh dengan menjadi buzzer atau influencer.

Suara generasi milenial adalah simbol kedaulatan, idealnya generasi milenial bisa menggunakan suaranya secara kritis, tidak sekadar mengikuti kemana angin bertiup. Meskipun angin itu digerakkan para senior atau (terlebih) para penguasa.

Generasi milenial telah banyak belajar dari generasi terdahulu.   Salah satunya adalah soal perilaku politik, yang kemudian banyak ditiru generasi berikutnya, sebut saja itu sebagai komodifikasi jasa. Maksudnya, bahwa jasa mereka di masa perjuangan dulu, harus bisa dikonversi dengan kekuasaan, yang berujung pada kesejahteraan.

Model ini yang kemudian ditiru generasi-generasi berikutnya, mulai Angkatan 66 sampai 1990-an, bahwa andil dalam menumbangkan sebuah rezim di masa lalu harus ada imbal baliknya. Dengan cara seperti ini, publik tidak wajib lagi memberikan apresiasi, karena jerih payah mereka di masa lalu, sudah terbayar lunas, bahkan mungkin berlebih.

Faktor pendidikan

Salah satu cara untuk meruntuhkan dinasti politik adalah melalui jalur pendidikan. Artinya generasi milenial, khususnya dari masyarakat bawah, harus sekolah yang setinggi-tingginya, agar memperoleh akses menuju kekuasaan. Sudah menjadi hukum besi sejarah, bahwa publik lebih percaya pada omongan orang yang berpendidikan tinggi.

Dari keluarga pemimpin negeri masa lalu, yang sekolah anak-anaknya   terbilang membanggakan  adalah Bung Hatta dan BJ Habibie. Artinya anak-anak mereka terbilang siap bila suatu saat dipanggil negara, untuk menjadi pejabat publik, seperti pernah terjadi pada Dr. Meutia Farida Hatta.

Kemudian anak pertama Habibie, Ilham Akbar Habibie, kini menjadi pakar digantara skala global  seperti ayahnya. Artinya, publik merasa firm bila mereka-mereka ini suatu saat berkiprah di dunia politik.Untuk menjadi pejabat publik, faktor pendidikan adalah mutlak, ketika begitu banyak sarjana dari generasi milenial.

Kita bisa belajar dari keluarga penguasa masa lalu, (khususnya) Soeharto, yang sekolah anak-anaknya tidak terlalu berhasil, ketika dana untuk sekolah, begitu melimpah. Sungguh ironis memang, sementara Soeharto sendiri menyelenggarakan program beasiswa Supersemar, yang telah menolong ribuan mahasiswa kurang mampu, untuk menjadi sarjana.

Kita jangan terlalu percaya pula dengan ucapan bombastis Generasi 1945, yang selalu membanggakan bahwa perjuangan bersenjata adalah elemen terpenting dalam mempertahankan kemerdekaan. Bagaimana mungkin, persenjataan pasukan kita saat itu tidak sebanding dengan militer Belanda.

Adalah faktor  pendidikan sebagai penentu, yang paling berperan menuju alam kemerdekaan. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan seterusnya, adalah generasi  terdidik di awal Abad 20. Dari merekalah aspirasi kemerdekaan mulai ditebarkan, artinya faktor buku yang lebih menentukan, sementara “bambu runcing” sekadar metafora.


Penulis sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu. Pertama kali terbit untuk DW Indonesia.

Tags: #milenial#nasionalisme#Politik
Share39SendShare

Related Posts

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023

Oleh: Muhammad Muharram Azhari* PIRAMIDA.ID- Pengertian disiplin menurut Elizabeth Hurtock mengemukakan bahwa; Disiplin itu berasal dari kata "discipline", yaitu seseorang...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Anies Baswedan Hadir Pada RAPIMNAS I Gerakan Rakyat, Ketua DPP Gerakan Rakyat Sebut Nama Tom Lembong

13/07/2025
Berita

Penyelidikan Dihentikan, Kuasa Hukum Korban Penipuan Segera Laporkan Penyidik Polda Sumut ke Propam

10/07/2025
Berita

150 Hari Kerja Bupati Simalungun, GMKI : Simalungun mau dibawa kemana?

09/07/2025
Berita

Ketua ILAJ Minta Hakim Berhikmat: Kasus Hasto & Tom Lembong Jangan Dikendalikan Politik, Vonis Bebas Adalah Pilihan Konstitusional

07/07/2025
Berita

Dugaan Fee Proyek, Ketua ILAJ Minta KPK Pantau Bagi-Bagi Proyek di Kota Siantar

04/07/2025
Berita

Robot Polri Tuai Kritik Netizen, Fawer Sihite: Inovasi Harus Disambut Baik, Tapi Polri Perlu Bangun Instrumen Komunikasi yang Efektif

30/06/2025

Populer

No Content Available
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba