Penulis: Alhendri Fara, S.H.,M.H.*
PIRAMIDA.ID – Dalam kerangka negara demokrasi yang berdasarkan hukum, setiap produk pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Secara prinsip setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki instrumen perencanaan program pembentukan peraturan perundang-undangan yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis yang kemudian disebut dengan Prolegnas (Program Legislasi Nasional).
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang merupakan usulan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mendapat respon beragam dari berbagai kalangan masyarakat.
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dianggap telah mendistorsi keberadaan dan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Jika dilihat dari bentuk Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) setidaknya ada beberapa pokok-pokok pikiran, latar belakang, dan argumentasi yang menjelaskan maksud dan tujuan dari Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sebagaimana disebutkan dalam konsideran rancangan undang-undang ini:
Pertama:
Bahwa Pancasila sebagai dasar negara, dasar filosofi negara, ideologi negara, dan cita hukum merupakan suatu haluan untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia.
Kedua:
Bahwa untuk mencapai tujuan tersebut perlu suatu landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dalam bentuk haluan ideologi Pancasila.
Ketiga:
Bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi kekosongan hukum di mana belum ada undang-undang yang mengatur tentang haluan ideologi Pancasila yang dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keempat:
Dicantumkannya tujuh Ketetapan MPR dalam konsideran bagian mengingat dan satu pasal UUD 1945 (Pasal 21).
***
Terhadap draft Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), sebagai warga negara saya akan memberikan komentar dan catatan kritis terhadap draft Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) tersebut:
Setelah ditetapkan menjadi RUU pada tanggal 17 Desember 2019, dan masuk dalam prolegnas DPR-RI Tahun 2020, RUU HIP mendapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat; dari praktisi, akademisi, lembaga, dan masyarakat secara umum.
Secara substansi maksud dan tujuan dari RUU HIP adalah membumikan Pancasila dan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Perdebatan RUU HIP diarahkan pada dua argumentasi, yaitu tidak dicantumkannya Ketetapan MPRS No. 25 Tahun 1966 dalam konsideran bagian mengingat dan Pasal 7 ayat 2 RUU HIP.
Dalam konsideran bagian mengingat yang dicantumkan adalah Ketetapan MPR yang sudah tidak berlaku, artinya secara makanisme yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan pembentukan RUU HIP adalah cacat prosedural.
Kemudian dalam konteks Pasal 7 ayat 2 yang menyebutkan ciri pokok pancasila, yaitu trisila: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan yang bekebudayaan. Frasa ini berpotensi menimbulkan multitafsir terhadap eksistensi Pancasila sebagai falsafah negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bahwa nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu dibumikan dan diinternalisasi nilai-nilainya saya sepakat, tetapi mekanisme pembumian dan internalisasi nilai-nilai Pancasila tidak perlu diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam RUU HIP.
Pancasila sebagai Staat Fundamental Norm/sumber dari segala sumber hukum, sudah menjadi suatu keharusan yang mengikat di mana dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Penulis merupakan Sekretaris Fungsional Organisasi PP GMKI.