Efron Dwi Poyo*
PIRAMIDA.ID- Sesungguhnya tidak ada masyarakat yang peduli pada kelahiran Mulyono. Paling-paling beberapa tetangga yang sedikit disibukkan atas kelahirannya selain ibu dan ayahnya.
Baru kemudian sesudah Mulyono menjadi Presiden RI yang kita kenal sebagai Presiden Joko Widodo disusunlah biografi yang luar biasa. Dicarilah foto-foto lama yang sangat terbatas koleksinya dan juga saksi-saksi hidup. Dibuatlah kisah hidup Joko Widodo yang heroik dan mengundang decak kagum.
Demikian halnya tak seorang pun tahu kapan Yesus dari Nazaret dilahirkan. Tidak ada suatu akta kelahiran kuno yang menyatakan dan membuktikan kapan Yesus dilahirkan. Tidak ada seorang saksi hidup yang bisa mengabsahkan.
Baru kemudian ketika Yesus sesudah kematian-Nya diangkat menjadi Sang Mesias oleh gereja perdana disusunlah kisah-kisah kelahiran-Nya sebagai kelahiran luar biasa seperti kisah awal dalam Injil Matius dan Injil Lukas yang ditulis sekitar 80 – 85 ZB. Akan tetapi pengarang Injil Markus (ditulis sekitar 70 ZB) sama sekali tidak memandang penting untuk menyusun sebuah kisah kelahiran Yesus.
Meskipun pengarang Injil Matius dan Lukas mengisahkan kelahiran Yesus, kedua Injil sama sekali tidak menulis catatan historis mengenai tanggal kelahiran-Nya. Bahkan di seluruh kitab Perjanjian Baru tidak ada.
Bagaimana bisa terjadi penetapan 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus? Ada banyak teori. Dua teori di antaranya sebagai berikut:
Teori Pertama
Sudah menjadi tradisi Israel Kuno untuk menyamakan hari kematian dengan hari kelahiran bapak-bapak leluhur Israel. Tradisi ini mirip dengan kepercayaan Budhisme. Hari kematian Sidharta Gautama sama dengan hari pencapaian pencerahn dan hari kematiannya.
Tradisi Jawa Kuno juga memercayai hari kematian seseorang jatuh persis weton atau hari kelahiran penanggalan Jawa. Oleh kekristenan tradisi ini dimodifikasi bahwa hari kematian sama dengan hari pembenihan.
Hari kematian Yesus bisa ditentukan dengan akurasi tinggi yang jatuh pada tanggal 14 Nisan dalam kalender Yahudi Kuno yang kemudian dikonversi menjadi 25 Maret dalam kalender Gregorian. Bapak-bapak gereja seperti Klemen dari Aleksandria, Lactantius, Tertullianus, Hippolytus, dan juga sebuah catatan dalam dokumen Acta Pilatus menyatakan hari kematian Yesus jatuh pada tanggal 25 Maret.
Dengan demikian begitu hari pembenihan janin Yesus dalam rahim Maria juga jatuh juga pada 25 Maret.
Apabila dihitung sembilan bulan dari hari pembenihan, maka hari kelahiran Yesus adalah 25 Desember. Kendati cukup banyak dokumen dari abad III sampai abad IV menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus, tidak semua orang pada waktu itu menyetujui adanya perayaan Natal.
Origenes dari Aleksandria dalam homili atas Kitab Imamat menyatakan bahwa hanya orang-orang berdosa seperti Firaun dan Raja Herodes yang merayakan hari ulang tahun mereka. Seorang penulis Kristen yang lain bernama Arnobus pada 303 ZB mengolok-olok gagasan untuk merayakan Natal sebagai pemujaan hari lahir dewa-dewi.
Dalam pada itu kalangan Montanis menolak kematian Yesus jatuh pada 25 Maret, melainkan pada 6 April. Dengan begitu hari kelahiran Yesus jatuh pada 6 Januari jika dihitung dari hari pembenihan 6 April.
Untuk itulah di kalangan Gereja Timur (berbahasa Grika) merayakan Natal pada 6 Januari, sedang Gereja Barat (berbahasa Latin) merayakan Natal pada 25 Desember. (Catatan: Montanus adalah pemimpin gerakan apokaliptik pada pertengahan abad II ZB di Asia Kecil. Gerakan atau alirannya disebut Montanisme, pengikutnya disebut Montanis.)
Teori Kedua
Dalam kehidupan di Kekaisaran Romawi orang-orang Romawi menyembah matahari. Praktik heliolatri ini Dewa Matahari atau Sol menempati kedudukan tertinggi. Dalam diri Dewa Sol ini terjerap dewa-dewa lain yang juga disembah oleh banyak warga Romawi seperti Dewa Apollon (dewa terang), Dewa Elah-Gabal (dewa bangsa Siria), dan Dewa Mithras (dewa perang bangsa Persia).
Politik keagamaan dengan menempatkan Dewa Sol sebagai Dewa Tertinggi ini untuk memayungi persatuan kawasan Kekaisaran Romawi yang sangat luas dengan penduduk besar yang menganut berbagai macam agama dan memercayai banyak dewa.
Pada 274 ZB Dewa Sol oleh Kaisar Aurelianus ditetapkan secara resmi sebagai Kepala Panteon Negara Romawi, satu-satunya Pelindung Ilahi atas seluruh kekaisaran. Menyembah Dewa Sol sebagai pusat keilahian berarti memusatkan kekuasaan politik pada diri Sang Kaisar Romawi sebagai titisan Dewa Sol. Dalam pemujaan Dewa Sol ini tanggal 25 Desember ditetapkan sebagai hari perayaan religius utama untuk memuja Dewa Sol, yang harus dirayakan di seluruh Kekaisaran Romawi.
Mengapa 25 Desember?
Bumi itu datar dan paham geosentris berlaku. Pada musim dingin matahari tampak bergeming di titik terendah di horison Eropa sejak 21 Desember. Pada 25 Desember matahari mula sedikit mumbul dari horison dan sedikit demi sedikit bergerak naik. Seolah-olah Dewa Sol terlahir kembali.
Peristiwa alam (yang sebenarnya biasa-biasa saja) ditafsir secara religius sebagai saat Dewa Sol berhasil bangkit dari kematian atau Sol Invictus (Matahari Tak Terkalahkan). Pada 25 Desember dijadikan sebagai Hari Kelahiran Dewa Sol Yang Tak Terkalahkan atau Dies Natalis Solis Invicti.
Dalam pada itu musuh-musuh Kekaisaran Romawi yang mengusik stabilitas politik bukan saja datang dari kekuatan militer, tetapi “kristenisasi” dari pengikut-pengikut Kristus. Pekabaran Injil oleh gereja-gereja sangat masif untuk melawan agama dan penguasa negara. Konon Kaisar Nero sampai membakar Kota Roma untuk menuding orang-orang Kristen sebagai pembuat onar dan musuh negara.
Jemaat Kristen menolak menyembah kaisar sebagai Tuhan (kyrios). Pernyataan “Yesus Kristus adalah Tuhan” dalam Surat Filipi 2:11 bukan saja pernyataan iman, tetapi terutama pernyataan sikap politik. Sungguh mengherankan apabila banyak rohaniman Kristen masa kini menyatakan bahwa gereja tidak boleh berpolitik.
Padahal berpolitik di sini adalah menyampaikan suara kenabian apabila penguasa menjadi monster. Tentu saja gereja masa kini tidak boleh berpolitik praktis seperti turut berkampanye untuk memilih partai tertentu.
Taktik pemberitaan Injil bukan saja mengambil alih gelar kyrios dari kewibawaan kaisar, tetapi juga Sol Invictus. Gelar kyrios dan Sol Invictus diberikan kepada Yesus Kristus sehingga Yesus Kristus menjadi Matahari Tak Terkalahkan yang sejati. Terjadilah perubahan besar-besaran di masyarakat Romawi dari penganut atau penyembah Dewa Sol menjadi Kristen. “Kristenisasi” di Kekaisaran Romawi sudah sulit dibendung.
Memasuki abad IV Kaisar Konstantinus sudah tak berdaya lagi memertahankan agama negara, padahal ia harus menjaga kewibawaan kaisar demi persatuan seluruh wilayah. Menurut mitologi Romawi pada 28 Oktober 312 ZB Kaisar Konstantinus melihat sebuah tanda salib dan sebuah kalimat In Hoc Signo Vinces (Dengan tanda ini, kamu menang) di awan-awan.
Ia kemudian menetapkan perayaan keagamaan pemujaan Sol Invictus pada 25 Desember diubah menjadi perayaan keagamaan untuk merayakan Hari Natal Yesus Kristus. Dengan digantinya Dewa Sol dengan Yesus Kristus sebagai Sol Invictus yang sejati dan 25 Desember sebagai Hari Natal Yesus Kristus, Kaisar Konstantinus berhasil memulihkan persatuan seluruh wilayah negara Roma yang warganya mayoritas Kristen.
Santiran
Agama tidak sekali jadi. Agama ber-evolusi. Peradaban berkembang, demikian juga kekristenan. Kristen bukanlah kontinuitas atau diskontinuitas Yahudi, melainkan kontinuitas sekaligus diskontinuitas Yahudi.
Kristen berkembang lewat tradisi, bukan lewat Alkitab. Bahkan Alkitab adalah produk tradisi gereja. Alkitab ada, karena ditulis dan ditetapkan oleh gereja, bukan sebaliknya.
Hari raya liturgi gereja dimula dan berpusat pada misteri Paska. Pada mulanya tidak ada susunan sistematis dan terencana untuk merayakan peristiwa-peristiwa Kristus. Secara evolusi gereja memberikan tanggapan atas peristiwa-peristiwa tersebut satu per satu.
Bapak-bapak gereja sejak abad II merapikan, membentuk, menyusun, dan merekayasa (to engineer) kisah teologinya sehingga menjadi bermakna, bertema, dan bercerita saling berurutan satu dengan lainnya. Hari raya liturgi merupakan drama sarat makna; suatu rekayasa gereja untuk memastori dan membina umat agar dapat lebih menghayati kisah Kristus menurut kesaksian Alkitab dalam bentuk perayaan.
Dengan memahami sejarah hari raya liturgi, seperti Sol Invictus sebagai misal, umat menjadi lebih menghayati makna nyanyian gerejawi seperti refrain NKB 72:
Yesus, ‘Kaulah Surya rahmat, ‘Kau kobarkan hatiku.
Bersyukur di jalan s’lamat, aku puji nama-Mu!(*)
Penulis merupakan pengamat media sosial. Alumnus STT Jakarta. Tertarik ulasan sejarah agama dan bahasa.