Oleh: Riani Kartini Samosir*
PIRAMIDA.ID- Nyatakah kesetaraan gender? Dengan paradigma, norma dan stigma yang ada, perempuanlah yang jadi korbannya. Apa salahnya mempunyai cita-cita? Kami juga layak mempunyai mimpi yang jadi realita memenuhi potensi diri agar menikmati hidup yang berarti. Menjadi perempuan di Indonesia tidak mudah, menjalani hidup dengan resah.
Rendahnya partisipasi perempuan dalam lembaga politik mengakibatkan berbagai kepentingan perempuan kurang terakomodasi dalam sejumlah keputusan politik. Tatanan kehidupan umat manusia yang saat ini didominasi oleh kaum laki-laki sudah menjadi akar sejarah.
Dalam tatanan ini perempuan ditempatkan sebagai manusia kelas dua atau the second human being yang berada di bawah prioritas laki-laki yang membawa implikasi luas dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan pada setiap tingkat sosial politik merasa dirinya kurang terwakili di dalam parlemen dan jauh dari keterlibatan ketika membuat keputusan.
Perempuan ingin masuk dalam dunia politik, namun kenyataannya bahwa publik dan budaya seringkali bermusuhan. Partisipasi perempuan dalam pembangunan terutama dalam pengambilan keputusan dan menduduki posisi strategis sangat rendah bahkan di banyak bidang.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, budaya patriarki merupakan permasalahan yang penting. Disadari atau tidak praktik ini telah mengkontruksi manusia dengan perbedaan kelas antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan tegas karena patron yang membentuk perempuan sebagai makhluk berperasaan, yang artinya perempuan tidak dapat memberikan keputusan ketika menggunakan sisi perasaan dalam menilai sebuah keputusan. Anggapan seperti ini yang membuat perempuan sedikit ikut peran dalam dunia politik. Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap sistem politik ialah adanya persepsi yang menganggap perempuan hanya dapat menjadi ibu rumah tangga.
Keterlibatan perempuan di dalam dunia politik bisa dikatakan lambat. Ini dikarenakan banyaknya stigma yang mengatakan bahwa perempuan identik dengan sektor domestik sehingga masih sedikit perempuan yang turut andil dalam dunia politik. Sementara dunia politik ini sendiri dianggap lekat dengan dunia yang keras, penuh persaingan, membutuhkan rasionalitas dan bukan emosi, dan ini dianggap ciri-ciri yang melekat pada laki-laki.
Perempuan tidak mudah dalam menggeluti dunia politik karena begitu banyak rintangan yang harus dihadapi saat menjadi calon legislatif. Faktor pertama berhubungan dengan konteks budaya Indonesia yang masih sangat kental asas patriarki nya. Kedua, berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik itu sendiri. Ketiga, berhubungan dengan media yang berperan dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Keempat, tidak adanya jaringan antara organisasi massa untuk memperjuangkan representasi perempuan.
Adanya peraturan tentang diharuskannya caleg perempuan sebanyak 30% merupakan salah satu kebijakan yang penting dalam proses perjalanan demokrasi Indonesia. Aturan ini ditulis dalam beberapa UU, yakni UU no 31 tahun 2002, UU no 12 tahun 2003, UU no 2 tahun 2008, UU no 10 tahun 2008 dan UU no 7 tahun 2017. Di negara yang berkembang tingkat partisipasi politik kaum perempuan lebih rendah dibandingkan pihak laki-laki. Hal ini disebabkan karena kaum perempuan lebih banyak yang memilih untuk terlibat dalam urusan rumahtangga daripada urusan politik (Muawanah, 2009:157).
Partisipasi politik perempuan merupakan kegiatan sukarela dari berbagai aktivitas sebagai pengamat politik, dosen, aktivis perempuan, anggota parlemen dan sebagainya, sehingga perempuan melibatkan diri secara aktif baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara umum perempuan memiliki hak untuk dapat aktif berpartisipasi di masyarakat termasuk di dalam bidang politik yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap terciptanya suatu kebijakan (Warjiyati, 2016:27).
Pendekatan gender dan pembangunan merupakan upaya untuk menumbuhkan kesejajaran laki-laki dan perempuan dalam konteks kehidupan yang luas. Perempuan terlalu diposisikan pada perang domestik dan reproduksi yang sangat menghambat kemajuan mereka untuk menggeluti dunia publik.
Keterwakilan perempuan di dalam kursi parlemen tidak dapat diabaikan. Keterlibatan perempuan sebagai perwakilan rakyat untuk mewakili kepentingan harus dapat diwujudkan dengan baik. Keterikatan hubungan juga karakteristik perempuan menjadi hal yang penting dalam proses penyampaian aspirasi perempuan untuk membuat kebijakan negara di parlemen. Perempuan hadir dalam parlemen untuk membawa perubahan pada tempat yang didominasi oleh laki-laki.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Jambi.