Bapthista Mario Yosryandi Sara*
PIRAMIDA.ID- Fenomena politik Indonesia kembali bergejolak di tengah pandemi Covid-19, usai dihantam dinamika kontoversi yang melibatkan Kepala Staf Kepresiden (KSP) Moeldoko Cs, dan menyeret Partai Demokrat pimpinan AHY.
Mengutip ulasan dalam Tempo.co, bahwa pada 5 Maret lalu di Deli Serdang, Sumatera Utara, Moeldoko telah terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum partai berlambang mercy, periode 2021-2026 versi Kongres Luar Biasa (KLB).
Moeldoko mengalahkan Marzukie Alie (kader pecatan Demokat) dalam kongres yang dipimpin Jhoni Allen Marbun (Anggota DPR RI Fraksi-PD) selaku ad-hoc.
Sebagaimana diketahui, pelaksanaan KLB di Deli Serdang tidak berizin (illegal) dan tak integral dengan AD/ART partai Demokrat (cacat hukum). Kemudian, peserta KLB pun bukan pemilik suara sah, artinya abal-abal. Sesuai ulasan di medcom.id, bilamana para pemilik suara sah kongres, yaitu Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) sudah menyatakan kesetiaannya kepada kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Bahkan, mereka menegaskan berada di wilayah masing-masing saat KLB berlangsung. Hal itu terbukti ketika para Ketua DPD dari 34 provinsi se-Indonesia dan para Ketua DPC serta Dewan Pengurus Pusat (DPP) Demokrat menemani AHY sambangi KPU, Kemenkumham dan Kemenko Polhukam.
Mesti dipahami, bahwa syarat diselenggarakannya KLB harus 2/3 dari jumlah Ketua DPD berarti 23 Ketua DPD di 34 provinsi, lalu disetujui 50% dari 514 Ketua DPC seluruh Indonesia berarti 257 Ketua DPC dan terakhir disetujui oleh Ketua Majelis Tinggi.
Maka dapat dipungkiri, apabila peristiwa tersebut berdampak pada meningkatnya sentimen negatif publik terhadap Moeldoko dan lingkaran Istana, terutama citra Presiden Jokowi. Dengan demikian, fenomena KLB dalam upaya mengkudeta AHY selaras dengan ungkapan Kanis Pari, bepolitik praktis adalah masuk bersilat taktik dan strategi di arena, dengan akibat yang pasti hanya satu; siapa salah buka langkah, dia terlempar keluar gelanggang.
Ada Apa dengan Demokrat?
Perbedaan kepentingan di dalam tubuh partai adalah bagian dari dinamika partai dan menjadikan partai lebih dinamis. Sejarah sudah mencatat banyak kelahiran partai yang diawali dari perbedaan internal yang tidak bisa diselesaikan melalui jalur musyarawah biasa, sehingga muncul partai-partai baru atau ”partai-partai perjuangan”.
Hasil survei Indometer menunjukkan elektabilitas Partai Demokrat melonjak dan menempatkan partai politik ini di urutan keempat setelah PDI-Perjuangan, Gerindra, dan Golkar. Survei Indometer dilakukan pada 1-10 Februari 2021 melalui sambungan telepon kepada 1.200 responden dari seluruh provinsi yang dipilih acak dari survei sebelumnya sejak 2019.
Margin of error sebesar 2,98% pada tingkat kepercayaan 95%. Elektabilitas Partai Demokrat melesat menjadi 8%, setelah sebelumnya sempat turun dari 3,9% (Juli 2020) menjadi 3,2% (Oktober 2020). Dengan kenaikan itu, Partai Demokrat melejit ke peringkat 4 besar.
Akan tetapi, dengan kenaikan elektabilitas tersebut mengapa Demokrat masih dibuntuti kisruh internal? Hingga kader non-Demokrat pun masuk dan berusaha memporak-poranda kekuatan partai terutama bersekongkol melakukan Gerakan Pengambilalihan Kekuasaan (GPK), upaya mengkudeta kepemimpinan AHY tanpa landasan logis.
Tentu ada misi di balik gerakan tersebut. Namun irasional apabila dilakukan oleh oknum bukan anggota sah partai, kemudian masih aktif sebagai pejabat negara, orang dekat Presiden. Apalagi dipilih sebagai Ketua Umum, tentu ini anomali.
Banyak desas-desus berseliweran di jagad sosial media hingga surat kabar, membahas polemik internal Demokrat hingga terjadinya KLB. Bilamana, Demokrat telah ditransformasi menjadi partai dinasti dan itu ditandai terpilihnya AHY di Kongres ke-V. Tapi patut diketahui bahwa soal isu partai dinasti, tentu ini debattable. Sebab Ketua Umum Demokrat pernah juga dijabat Anas Urbaningrum, yang tidak ada hubungan kekeluargaan dengan “Cikeas”.
Adalah rasional, sebuah jabatan politik yang pernah dijabat seseorang, apa pun jabatan itu, bisa dijabat anak turunannya, jika itu dipilih di forum yang semestinya. Dan di AD/ART hal itu juga tidak dianggap terlarang. Jangankan jabatan pimpinan partai, bahkan anak presiden pun berhak jadi presiden, asal terpilih secara demokrasi dan konstitusional.
Benar yang dikatakan Moeldoko, bahwa kudeta itu jika ada, itu dari dalam, maksudnya internal partai. Disampaikan saat ia mengelar konferensi pers menanggapi isu kudeta yang menyeret namanya, diawal Februari . Tentu orang akan berasumsi, bahwa kudeta dari dalam itu juga bisa disulut dari luar.
Dan memang Moeldoko sebagai pihak yang menurut temuan Demokrat adalah pihak yang coba mengambil alih partainya lewat KLB. Temuan itu menemukan, bahwa para “pensiunan” partai yang tidak punya kuasa atas partai digunakan sebagai “pasukan” yang akan membawa partai ini menuju KLB. Ini bukan akhir kepemimpinan AHY, ini awal dari permainan. Justru soliditas partai yang dipimpinnya akan teruji, jika mampu melewati badai ini.
Publik melihat ada kezaliman kekuasaan atas Demokrat, dan itu bisa jadi nilai tersendiri untuk partai. Melihat itu, SBY menyampaikan sikapnya, “Sebuah perebutan kepemimpinan yang tidak terpuji, jauh dari sikap kesatria dan nilai-nilai moral”. Ditambahkan, bahwa tindakan yang dilakukan Moeldoko itu hanya mendatangkan rasa malu, bagi orang-orang yang pernah bekerja bersamanya.
Termasuk rasa malu dan rasa bersalah saya yang dalam beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya (hidayatullah.com, Ady Amar, 2/03). Jika saja Menkumham menyatakan KLB Demokrat di Sibolangit sah, maka Presiden Jokowi tanpa disadari telah menulis sendiri namanya dengan tinta hitam, semacam Soeharto saat pengambilalihan PDI dari Megawati di KLB Medan 1996, hingga kini dikenang sebagai sejarah teburuk.
Sebab publik pun bertanya ketika negara membiarkan Moeldoko kepala KSP terpilih dalam KLB Demokrat di Medan, tidakkah Istana terlibat? Atau memang Presiden Jokowi merasa risih dan terancam atas sikap kritis Partai Demokrat yang kini konsisten dan murni sebagai partai oposisi?
Apakah KLB Demokrat ini adalah bagian dari strategi pembungkaman demokrasi oleh rezim Jokowi agar siapapun tidak boleh kritik dan kritis atas jalannya pemerintahan mantan Wali Kota Solo itu. Sehingga Partai Demokrat harus diberi pelajaran dengan cara di aduk-aduk dan dirusak (law justice.co, Muslim Arbi, 06/03)?
Regresi Demokrasi
KLB Sibolangit menjadi preseden buruk karena merusak nalar sehat demokrasi kita. Tidak hanya kering legalitas, tetapi juga miskin etika. Bagaimana mungkin kumpul-kumpul beberapa mantan pengurus Demokrat lalu mencetuskan KLB atas nama Demokrat, lalu mengesahkan Moeldoko yang nyata-nyata tidak memiliki sejarah dengan Demokrat?
Melihat fenomena KLB dan keterlibatan Moeldoko, dapat dipahami, tampak demokrasi dan moralitas elit di negeri ini menglami degradasi, jika benar pembiaran KLB itu akibat dosa Demokrat yang kritis. Lantas Istana dan Presiden Jokowi akan dianggap sebagai sutradara rusaknya stabilitas politik dan keamanan nasional atas pembiaran KLB.
Hal di atas senada dengan buah pikiran Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, bahwa demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati pelan-pelan. Kematian itu bisa tak disadari ketika tejadi, selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriterm disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dn penindasan total atas oposisi (How Democracies Die, Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, 2019).
Tentu kita tidak ingin wajah demokrasi Indonesia menjadi barbar. Demokrasi harus mengedepankan nilai-nilai moral politik, etika dan hukum.
Itulah demokrasi Pancasila. Sebab, etika atau ajaran moral politik dalam berdemokrasi menekankan terhadap perlunya;
(1) Apresiasi terhadap hak dan kebebasan partisipan konstituen dan partai politik itu sendiri. Hal ini berarti dalam proses interaksi sikap tindak politik tersebut tdak boleh ada kelompok atau pihak-pihak yang dirugikan.
(2) Kejujuran dalam proses membuat kesepakatan adalah tuntutan deokrasi yang esensial. Rekayasa negatif, penggunaan kekerasan dan tekanan untuk membentuk pendapat umum secara paksa, penyuapan (money politics), adalah bentuk-bentuk pengingkaran terhadap etika demokrasiyang sesunguhnya.
(3) Dimensi moral dalam berpolitik, seperti sikap kesatria, elegant, fairness, jujurm komitmen, adalah perilaku politik yang merefleksikan penghargaan terhadap hak-hak yang sama. Penghianatan, pengingkaran komitmen yang telah dibuat adalah sikap yang tidak kongruen dengan etika demokrasi.
Pada akhirnya, semua tergantung presiden. Seperti diungkap Hendri Satrio, SK Kemenkumhan kemungkinan tidak akan turun jika Moeldoko tidak direstui Presiden. Artinya, jika direstui, kemugkinan sebaliknya tentu dapat berlaku. Maka kita tak henti bertanya-tanya tentang sikap diam presiden di sepanjang perjalananan kasus ini.
Keterlibatan langsung elit istana dan diamnya Presiden Joko Widodo dapat memantik praduga awal tentang ketidaknetralan pemerintah. Bila ini betul, maka PD bisa saja dikerangkeng dalam konflik yang berkepanjangan melalui dualisme kepemimpinan.
Akibatnya Demokrat akan kehilangan fokus, kehilangan pemilih, dan kehilangan kesempatan mengikuti pemilu yang akan datang (fnn.co.id, Tamsyl Linrung, 8/03). Dengan demikian, dapat kita amati seksama siapa yang diuntungkan? Jawabannya barangkali terbayang dalam benak masing-masing. Siapa yang dirugikan? Tentu saja kita semua, anak bangsa yang mencintai demokrasi.(*)
Penulis merupakan Founder Forum Kajian Demokrasi dan HAM (FRIDOM)-Prodi Ilmu Pemerintahan, Undarma Kupang).