Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Selasa, Mei 20, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Melampaui SARA

by Redaksi
28/09/2020
in Dialektika
98
SHARES
699
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

Yudhie Haryono*

PIRAMIDA.ID- Apa yang salah dari SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan)? Tentu saja tidak ada. Itulah identitas-identitas purba bawaan manusia. Tetapi, dalam konteks berindonesia, SARA tak cukup baik bagi modalitas kehidupan kita. Mengapa?

Dari isu SARA, orde baru memproduksi politik identitas. Dan, dari SARA pula, orde baru memasung pluralitas dan memproduksi homogenitas. Negeri didesain anti kebhinekaan (heterogenitas) sambil dijejali keikaan (kesatuan) yang dikunyah-kunyah.

Kita paham bahwa politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok yang memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Singkatnya, politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan; bekerja pada aras asal beda bukan pada pendalaman program dan meritokrasi.

Tentu saja, politik identitas lahir sebagai kebangkitan kelompok-kelompok identitas akibat represi yang memarjinalisasikan mereka di masa lalu. Identitas berubah menjadi politik identitas ketika menjadi basis kohesi dan argumentasi perjuangan kelompok. Di sini, identitas bukan hanya persoalan sosio-psikologis namun juga politis. Ada politisasi atas identitas dan sebaliknya.

Padahal, identitas dalam konteks kebangsaan seharusnya digunakan untuk merangkum kebinekaan bangsa kita. Bukan sebaliknya. Sebagai modal berkelompok secara sempit dan pariferal.

Identitas nasional yang menjadi dasar konsep kewarganegaraan (citizenship) adalah kesadaran atas kesetaraan manusia sebagai warganegara. Identitas sebagai warganegara ini menjadi bingkai politik untuk semua orang, terlepas dari identitas apapun yang dimilikinya seperti identitas suku, ras, kelamin dan agama.

Saat identitas nasional yang berdiri hebat di atas dan untuk semua identitas purba tak dipahami, gugurlah kita sebagai bangsa Indonesia.

Akibatnya, problema kita yg bertumpu pada 10K menjadi terabaikan. Padahal, sebagai negeri postkolonial, kita masih mengalami 10 kenyataan: 1)Keterjajahan baru; 2)Kemiskinan; 3)Kepengangguran; 4)Ketimpangan; 5)Ketergantungan; 6)Kebodohan; 7)Kesakitan; 8)Konflik; 9)Kepunahan; 10)Keterabaian.

Tentu saja, jika kita jenius berIndonesia, wajiblah membuat protokolnya dan realisasikan satu persatu demi manusia nusantara, insan pancasila. Sebaliknya, jika kita jahil, akan mudah tertipu dengan isu ecek-ecek: arabisme, LGBT, teroris dan lainnya, sebagai pengalihan persoalan subtantif.

Karena itu, hati-hatilah kalian kaum muda idealis dalam bernegara. Sebab, negara kalian kini sedang dicengkeram gerombolan neoliberalis bin fasis. Kalian harus paham bahwa neoliberalis bin fasis selalu berjanji membangun jembatan walau di negeri itu tak ada sungai. Mereka juga berjanji mencetak alkitab walau di negeri itu tak ada kaum beragama.

Janji adalah buah harapan yg menjadikan penikmatnya ketagihan. Hiperjanji adalah ontologi neoliberalisme: Benua baru, harapan baru. Pasar baru, masyarakat baru. Hemmm, neoliberalisme memang dahsyat sebagai opium kehidupan. Memabukkan dan menghancurkan.

Singkatnya, kita harus melampaui SARA. Dengan mengembangkan kurikulum pluralisme dan multikulturalisme. Pluralisme adalah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.

Pluralisme dan multikulturalisme niscaya menjadi ciri khas masyarakat dan negara modern. Ide ini juga menjadi kelompok sosial paling penting dan merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, perkembangan ekonomi-politik kita: yang adil, beradab, sejahtera, mandiri, modern dan martabatif.

Terakhir, ada pesan dari Albert Einstien buat orang-orang seperti kita yang berjuang dalam nilai-nilai idealisme. Menurutnya, “kantong kosong tidak pernah menghambat kemajuan. Yang bisa menghambat hanyalah kepala kosong dan hati kosong.” Semoga hati dan pikiran kita berisi cita-cita, cinta dan kerja dalam keindonesiaan jenius yang nyata.


Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).

Tags: #kebhinekaan#negara#SARA
Share39SendShare

Related Posts

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023

Oleh: Muhammad Muharram Azhari* PIRAMIDA.ID- Pengertian disiplin menurut Elizabeth Hurtock mengemukakan bahwa; Disiplin itu berasal dari kata "discipline", yaitu seseorang...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Berita

Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH): Penegakan Hukum atau Alibi Militerisasi Atas Nama Konservasi?

09/05/2025
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Berita

GMKI Cabang Bandar Lampung Ungkap Krisis Kepolisian di Daerah Lampung: “Kekuasaan Tanpa Kendali, Rakyat Tanpa Perlindungan”

01/05/2025
Berita

Fawer Sihite Luncurkan Buku “Menghidupi Kembali Ut Omnes Unum Sint”: Refleksi dan Kebangkitan GMKI

22/04/2025
Edukasi

Refleksi Paskah dan Titik Balik Kebangkitan Ekonomi Indonesia

20/04/2025

Populer

Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Spiritualitas

Kasih Sebagai Perintah Baru

26/07/2020
Edukasi

Peran Media Massa sebagai Watchdog Politik di Indonesia

17/11/2022
Dialektika

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023
Dialektika

Immanuel Kant, Filsuf Yang Lebih Tepat Waktu Dari Jam

24/05/2020
Dialektika

Menilik Fenomena Hukum Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas

28/04/2022
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba