Bismar Sibuea*
PIRAMIDA.ID- Subuh itu bukan suara azan yang membangunkan aku, atau kokok ayam, atau suara inang-inang yang berjualan di pasar pagi tiap harinya, mau pun tukang becak sorong yang biasanya mengangkut barang-barang para pedagang.
Pagi itu tidak biasanya rumahku sedikit berisik. Maklum, walaupun kami beragama Islam, namun untuk urusan sholat subuh bisa dikatakan hampir tidak pernah. Cukup buruk, sangat buruk mungkin untuk keluarga pemeluk agama Islam, namun itulah kenyataan yang terjadi.
Walaupun ayahku bukan seorang yang taat, sebenarnya ayahku selalu mengingatkan kepada kami, anak-anaknya, untuk selalu melakukan kewajiban sholat 5 waktu. Dan ayahku juga memasukkan kami ke Madrasah pada sore hari untuk belajar agama pada saat SD dulu.
Namun mungkin konsistensi ayahku dan kemalasan kami sekeluarga jadi alasan kenapa di rumahku jarang diadakan sholat, terlebih sholat berjamaah. Dan itu juga mungkin yang menyebabkan kurang kompaknya kami sekeluarga, kurangnya waktu beersama-sama.
Namun ada sebuah kejadian yang tak lazim aku lihat di keluargaku pagi itu, bahkan tidak pernah sama sekali kulihat seumur hidupku. Aku adalah anak pertama yang seharusnya anak ke-2 kalau saja abangku tidak meninggal saat usianya baru menginjak 2 tahun menurut cerita mama ku.
Subuh itu aku terbangun oleh suara berisik di ruang tv yang sekaligus menjadi ruang tamu, ruang tengah, ruang tv, ruang sholat. Maklum, rumah yang kami kontrak pada saat itu sangat kecil, hanya berukuran 3,5 x 15 m. sangat padat untuk rumah yang berpenghuni 8 orang, kami 6 bersaudara dan akan jadi 8 orang kalau saja adikku yang hanya berselisih 1,5 tahun tidak ikut abangku yang sudah mendahuluinya menghadap Yang Kuasa.
Entah apa rencana sebenarnya Tuhan dengan menjemput dua saudara laki-laki ku, abang dan adikku. Tak terjawab hingga kini. Yang aku yakini, Tuhan selalu punya rencana yang lebih baik dari pada kita, bahkan ketika itu berhubung dengan kematian.
Itu yang membuat setiap kali aku berhadapan dengan kenyataan pahit, kenyataan yang terkadang tak masuk akal, tak bisa kitab terima, kenyataan yang terkadang kita rasa sangat tak adil, kenyataan yang kita merasa benar-benar bukan yang harus kita terima. Seperti hal yang akan aku terima.
Pagi itu adik perempuanku yang ke-3 sibuk dengan barang-barangnya. Aku terusik dengan kesibukan adikku dan mamaku. Adikku, Fitri tampak begitu sibuk dengan tasnya. Mamaku juga tampak sibuk mempersiapkan barang-barang. Sebenarnya aku setengah sadar pada saat itu, masih bingung apa yang sebenarnya terjadi. Aku jelas telah terbangun, namun tubuhku masih kubiarkan tertidur. Aku hanya mengamati kesibukan mereka yang hanya berjarak 2 meter dari tempat aku tidur.
Aku tidur persis di bawah jendela, di samping pintu. Ada balai kecil yang menjadi tempat aku bermimpi setiap malam-malamku. Maklum, rumahku hanya punya dua kamar, satu untuk bapak dan mamaku, dan satunya lagi untuk adik-adik perempuanku.
Tak lama kemudian kulihat ayahku juga keluar dari kamar. Aku bertambah bingung, aku berusaha menyadarkan benar ingatanku.
“Astaga! Aku lupa, benar-benar lupa. Aku baru teringat hari ini adikku akan berangkat. Parahnya aku sebagai abang, aku bahkan lupa kalau adikku bakal berangkat,” batinku setelah teringat.
Iya, hari itu adikku akan berangkat. Bukan sebentar, bahkan untuk waktu yang lama, aku benar-benar tak teringat. Benar-benar keluarga yang tak kompak, tak harmonis, tak ada komunikasi. Keluarga yang harusnya bisa aku bangun jadi lebih baik lebih teratur.
*
Adikku akan berangkat ke Malaysia hari itu, dalam waktu dua tahun kontrak. Aku benar-benar tak ingat, namun aku masih tetap dengan egoku, aku masih juga dalam posisi tertidur sembari aku tetap mengamati semua kesibukan tersebut.
Aku melihat setiap kegiatan subuh itu, mamaku masih tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, tampak wajahnya sedikit sendu. Begitu juga dengan adikku, masih sibuk memeriksa barang-barangnya di koper yang lumayan besar. Bisa kutaksir koper itu bermuatan barang 40 kg.
Ayahku hanya duduk tenang di kursi tua yang sudah berwarna kecokelatan. Ayahku juga seakan sekata denganku, hanya diam mengamati kesibukan mama dan adikku. Atau mungkin dia sebenarnya juga sedang berpikir, merenung tentang nasib anaknya, adikku yang akan terbang ke Malaysia pagi itu. Cuaca subuh itu terasa mencekam, walau penuh kesibukan di ruang tengah rumahku, aku yakin ayahku sedang berdoa, berharap penuh, aku yakin ayahku sebenarnya ragu melepas adik perempuanku untuk bekerja ke negeri seberang.
Terlebih mengingat tingkah laku adikku yang selama ini kurang menunjukkan perempuan atau seorang gadis yang siap berkerja di luar kota, apalagi di luar negeri.
Aku tahu ayahku menahan hatinya yang rapuh, sendu, kelam, kalap, tak tahu harus bertindak apa lagi. Mau tak mau ia mengikhlaskan harus dilepas karena keputusan sudah dibuat, adikku sudah tekad pula untuk bekerja di sana, seakan tak terdengar olehnya kejadian-kejadian yang selama ini terdengar dari tv tentang TKI yang disiksa, tentang WNI yang diperkosa, tentang TKI yang dipulangkan karena bermasalah.
Walaupun adikku disalurkan melalui Depnaker, adikku juga seakan tak peduli dengan kabar tentang TKI yang tak dilayani dengan baik oleh Kedutaan Negara ini sendiri. Adikku seakan melupakan itu semua, entah apa yang ada dalam pikirannya kala itu.
Entahlah, mungkin yang dia tahu dia hanya ingin bekerja, cari uang, meringankan atau mungkin bisa membantu keluarga dari kesusahan, dari kehidupan yang jauh dari cukup.
Namun sekuat itukah dia? Aku abangnya saja masih pengangguran tak jelas, kadang hanya bisa diam, bahkan saat para penagih utang datang ke rumah lalu melabrak mama ku dan kadang dengan makian yang tak pantas didengar.
Ya, aku lah si pecundang itu, yang hanya bisa terduduk rapi, terdiam di tempat, menutup mulut tanpa kata-kata pembelaan saat ibunya dimaki-maki karena utang. Aku lah si lelaki tak berdaya itu, aku lah si anak yang paling besar yang harusnya jadi pelindung mama ku tapi malah hanya jadi beban. Ahh, aku selalu meratap tak berbuat dan naif.
**
Kulihat ibu ku keluar dari kamar sembari membawa tas gendong, tampaknya berisi pakaian. Ibuku lalu merapikannya di ruang tengah, setelah berkemas tampak jelas kekakuan di ruangan itu, benar-benar kaku. Semua seakan ingin berucap tapi sungkan, hampir tak pernah ada acara atau program di rumah kami untuk saling berucap, bahkan saat hari Lebaran sekalipun. Benar-benar bukan keluarga yang baik.
Entah salah di mana hingga kami bisa jadi keluarga yang tak teratur begini. Lingkungan kami memang lingkungan Batak yang kental, namun Batak sekalipun punya kerukunan yang baik, tak tahu berawal darimana ketidak teraturan keluarga kami, aku lupa.
Aku juga bahkan besar bukan di tangan orangtua. Masa kecilku lebih banyak bersama oppungku hingga aku kelas IX SMP. Aku seakan sudah terbiasa hidup tanpa kerukunan antar-anggota keluarga. Hanya sopan santun yang kusimpan dan kupendam jadi modal hidupku, satu kata yang harus selalu kupegang dalam perjalanan hidupku dan selalu terngiang di telingaku. Aku selalu mematri di hatiku, “hidup itu keras”.
***
Setelah ada lebih dari lima menit kekakuan di ruang tamu, spontan mama ku bicara memecah kevakuman, kekakuan. Tampak di raut wajahnya kesenduan, kepiluan, namun penuh harapan. Berat, sangat berat mama ku untuk memulai kalimatnya.
“Itu lah, nak. Apa lah yang mau kubilang sama mu. Selama ini pun bukannya pernah kita ngomong, melawannya kau terus kalo kubilangin. Entah apa-apa aja yang kau bilangi kalo kau kunasehati. Baik-baik lah kau di sana, jangan kau buat kayak yang kau buat di sini, bahaya nanti. Jangan melawan-lawan atasan di sana, hati-hati sama orang di sana, jangan gampang kali percaya, kabari mamak terus,” nasehat mama.
Adikku spontan memeluk mamaku, entah darimana spontan itu datang. Sangat tak lazim, biasanya mamaku sama adikku, Fitri selalu ribut di rumah.
Mamaku juga langsung spontan menangis saat mendapat pelukan dari adikku. Aku sangat yakin, pelukan itu pelukan yang sangat berarti untuk seorang ibu, pelukan dari seorang anak yang selama ini melawan, tak pernah menurut, bahkan pernah melawan dengan kata-kata yang tak seharusnya terdengar dari seorang anak kepada seorang ibu.
Ada gerakan batin mungkin yang menuntun adikku untuk melakukan pelukan itu. Aku tahu pelukan itu begitu erat, adikku menangis, mamaku menangis. Mendengar tangisan mama dan adikku, adik-adikku yang lain terbangun dan keluar dari kamar. Mereka hanya diam, dan meneteskan air mata.
Airmata itu bukan air mata buaya, bukan air mata melihat dua orang yang menangis, tapi itu lebih tepat tangisan kami yang tak pernah merasakan betapa kami sebenarnya sangat merindukan satu sama lain; bahwa kami sangat membutuhkan pelukan dari kami untuk kami, namun hal itu tak pernah terjadi, seakan sirna dengan keadaan kami, kehidupan kami yang hanya selalu bergelut dengan kerasnya hidup, kejamnya hidup, kejamnya manusia.
Adik-adikku juga tahu bahwa kakaknya, Fitri bakal pergi lama. Bahkan tak ada yang bisa memastikan adikku bisa kembali apa tidak, tak ada yang tahu, dan tak ada yang bisa menjamin. Termasuk negara yang katanya kaya raya ini, tak bisa menjamin adikku bisa pulang, tak ada, namun inilah negara ku, negara kita Indonesia raya, negeri tercinta.
Hanya Tuhan yang tahu semua rencananya ini, dan jika suatu saat adikku tak bisa kembali ke keluarga ini, ke kampung ini, ke negeri ini, mungkin aku hanya bisa berkata dalam hati, “Tuhan, Engkau tak adil, haruskah Engkau pisahkan kami selamanya, kami yang baru saja seakan merasakan betapa pentingnya kami semuanya dalam keluarga ini.”
****
Aku mengamati semuanya, aku melihat pelukan yang baru kulihat seumur hidupku itu. Begitu hangat, begitu erat. Mamaku terus menangis, adikku pun mulai berbicara.
“Mak, aku minta maaf ya. Selama ini sudah kulawan-lawan terus mama, ini mungkin jadi pelajaran nanti samaku mak kalo aku dah di sana, ga ada lagi mama di sana nanti. Pasti kehilangannya aku, mak. Pasti rindunya aku, mak. Jangan nangis mama lagi, baik-baik pun aku di sana nanti, janji aku, mak. Gak macam-macam pun aku, mak. Percayalah, mak. Mama, jangan nangis lagi, mak,” ucapnya.
Itu mungkin kata maaf yang pertama diucapkannya kepada mamaku, namun aku yakin mamaku sudah memaafkan kesalahannya selama ini.
Adikku terus menangis, melihati wajah mamaku. Aku mengamati itu semua masih dalam posisi tertidur. Aku lihat semua kejadian ini, peristiwa aneh ini bisa terjadi di rumahku, peristiwa yang aku tak tau kapan lagi bisa terjadi.
“Apakah keluarga kami ini hanya bisa tampak kompak apabila kami harus melepas pergi salah satu dari kami?” batinku mengguman merenungi peristiwa ini.
Begitu haru kulihat adikku yang lain menangis sambil sesekali berucap, “kak, kak.”
Aku yakin mereka juga ingin mengucapkan kata-kata perpisahan untuk kakaknya yang bandal, yang tiada hari selalu bertengkar dengan mereka. Aku melihat mereka meneteskan air mata, air mata yang begitu tulus, begitu bening, juga begitu natural.
Ayahku juga tak lepas dari pengamatanku yang duduk di kursi usang sebelah tv lama kami, aku juga lihat ayahku mengusap tetesan air matanya. Ayahku yang terkenal sedikit keras sama anak-anaknya saat itu hanya terduduk diam, terpaku, tanpa kata, tanpa gerak.
Aku tahu ayahku tak bisa lagi berkata apa-apa. Hanya bisa larut dalam suasana yang haru itu, suasaana yang benar-benar aneh, benar benar tak terduga bisa terjadi di rumahku. Dan yang aneh satu lagi adalah, aku tak menyadari, benar benar tak menyadari, aku juga telah meneteskan air mata.
Aku larut dalam kesedihan itu, aku larut dalam drama nyata itu. Aku yang susah menangis, aku yang berjanji tak akan menangis kecuali untuk ibu ku, akhirnya menangis. Tanpa isak, hanya air mata ku yang menetes tanpa kusadari. Aku benar-benar larut. Benar-benar haru.
Tak lama ayahku berdiri memecah suasana.
“Ayoklah berangkat kita, nanti terlambat dia,” ucap ayahku.
Ibuku pun melepaskan pelukannya, mengusap airmatanya, adik-adikku hanya diam di tempat.
Ayahku mengambil koper dan bersiap untuk pergi. Adikku, Fitri menyalami adik-adikku, dan mendatangi aku yang sudah duduk di atas tempat tidur, dia menyalamku lalu mencium tanganku. Itu pertama kali seumur hidupku adikku menyalam dan mencium tanganku. Tak ada yang aneh, namun aku merasa benar-benar beda, hari itu benar-benar beda.
Tak ada yang terucap dari mulutku. Sepatah kata pun tidak. Aku benar-benar terdiam, mulutku kaku, walau di hatiku telah ada seribu kata yang sebenarnya ingin aku sampaikan, namun tak terlafazkan. Benar-benar kaku. Benar-benar memberikan aku sebuah pelajaran, sebuah hikmah, sebuah pengalaman, sebuah drama yang benar benar harus kujadikan pelajaran.
Tak lama setelah adikku menggendong tas nya, ayahku keluar membawa koper. Ibuku menyusulnya, dan adikku mengikut di belakang. Aku beranjak keluar melihat keberangkatan mereka. Bapak dan ibuku akan mengantar adikku ke terminal.
Dan adikku akan berangkat sendiri ke Medan untuk bergabung dengan kawan-kawannya yang lain yang akan sama-sama merantau ke negeri seberang, negeri yang beberapa tahun terkahir bisa dikatakan perang dingin dengan negeri tercinta ini, Malaisya.
Aku memandang adikku. Selama berjalan, tak sekalipun dia menoleh ke belakang. Hatinya telah teguh, mantap untuk melangkah, aku benar benar salut dengan tekadnya. Benar-benar tak kuduga hari itu dia telah jadi seorang gadis yang selama ini aku marahin dan bahkan pernah aku pukul.
Tak ada lagi yang harus kusesali. Aku benar-benar geram dengan aku yang diam. Adikku yang baru saja tamat SMA harus merantau ke negeri orang. Adikku yang perempuan harus juga turut mengorbankan masa mudanya.
Adikku harus siap bila suatu saat dia butuh pelukan sorang ibu, tak akan didapatkannya. Adikku juga bahkan tak tahu kalau tak ada yang bisa menjamin dia bisa pulang dengan baik baik saja.
Aku yang selama ini benar-benar cuek dengan adikku, keluargaku, telah benar-benar menyesal telah melewatkan tahunan waktu bersamanya tanpa canda tawa. Aku benar-benar akan jadi manusia yang paling menyesal, paling naïf, jika saja Tuhan tak lagi memberikan kesempatam untuk aku bertemu saudara kandungku, yang tak pernah merasakan kasih sayangku.
Aku menyesal, aku menangis, aku rapuh.
Aku tak habis pikir, tak terima sebenarnya, haruskah adik perempuanku ke luar negeri hanya untuk mencari nafkah. Apa sudah habis rezeki di negeri yang luas ini. Pikiranku berkecamuk karenanya.
Aku hanya bisa berjanji pada diriku sendiri layaknya pecundang, harus bangkit dan bisa membantu adik-adik ku, agar tak ada lagi adikku yang harus pergi dari keluarga kami, apalagi harus ke negeri orang. Aku tak mau lagi kehilangan kebersamaan dengan adik-adikku yang lain. Aku tak mau.
Tak bisa aku berkata lagi..
“Allahuakbar, Allahuakbar,” gema azan menyadarkan aku dari renungan singkatku.
“Ya Allah, apa pun alasanya, kembalikan adikku tanpa kurang apa pun kembali ke keluargaku lagi nanti,” itu lah doa singkat ku, doa tulusku di subuh itu.
Tak kan bisa terlupa. Seumur hidupku, aku akan jadi pelindung adik-adiku, adik perempuanku. Tak akan terlupa, peristiwa subuh itu.*
Penulis merupakan seorang dosen di Universitas Simalungun dan UISU, Pematangsiantar.
Editor: Red/Hen