Rahmat Petuguran*
PIRAMIDA.ID- Ada banyak kehebohan yang terjadi di YouTube satu-dua tahun terakhir. YouTuber Erdian Aji Prihartanto alias Anji mendapat protes keras dari sejumlah pihak karena mengunggah wawancara yang dinilai berisi berita bohong.
Selain videonya dilaporkan kepada pengelola kanal, Anji menerima banyak kritik bernada olok-olok yang mengkritik sang YouTuber melakukan apa pun demi konten.
Anji hanya salah satu YouTuber yang terseret oleh arus besar disrupsi penyiaran yang dibawa YouTube. Kanal berbagi video itu mengubah relasi kreator dan penonton sehingga berubah pula interaksi di antara keduanya.
Sebelum Anji, banyak sekali YouTuber yang melakukan kekonyolan “demi konten”. Belum lama ini ada Ferdian Paleka. Di Meksiko, ada YouTuber yang hampir tewas karena makan cabai terpedas dalam jumlah besar. Itu pun demi konten. Di seluruh dunia ada belasan YouTuber yang tewas karena membuat video berbahaya. Itu pun demi konten.
Kenekatan-kenekatan YouTuber demi konten menggambarkan betapa kerasnya upaya para kreator untuk merenggut perhatian penontonnya. Penghargaan berbasis rating pada media tersebut membuat jumlah penonton menjadi mata uang yang dikejar mati-matian. Kondisi ini sebenarnya bertolak belakang dengan semangat awal YouTube ketika kanal berbagi video ini awalnya dirilis yaitu berbagi.
Skema monetisasi yang ditawarkan setelah kanal ini diambil alih oleh Google menyebabkan semangat berbagi hilang. Sebaliknya, motif utama YouTuber adalah mendapatkan. Sebagian besar kreator membagikan video bukan karena ingin memberi manfaat kepada penontonnya, tetapi berusaha memanfaatkan penonton untuk dikonversi menjadi keuntungan sosial dan ekonomi tertentu.
Rimba Penyiaran
Perubahan model bisnis yang dilakukan YouTube memang berhasil dari sisi bisnis. Platform ini menghasilkan pendapatan dari iklan sekitar 15,15 miliar dolar AS atau setara Rp 212,1 triliun pada tahun 2019. YouTube menjadi produk yang mengalami kenaikan pendapatan saat pendapatan produk-produk Google lain cenderung menurun. Selain dari iklan, YouTube juga dilaporkan mendapat penghasilan 3 miliar dolar AS atau Rp 42 triliun dari fitur YouTube Premium.
Keberhasilan YouTube menjadi “mesin uang” bagi perusahaan pengelolanya tidak lepas dari strateginya menjadikan penonton sebagai broadcaster sekaligus. Perusahaan menstimulasi penonton memproduksi videonya dengan menawarkan skema berbagi penghasilan yang diterima dari pengiklan. Perubahan ini terhitung radikal karena mendisrupsi relasi penonton dan broadcaster yang selama puluhan tahun dijaga oleh industri penyiaran konvensional.
Di satu sisi, skema ini memang telah menciptakan suasana yang lebih demokratis dalam industri penyiaran. Dengan dukungan alat produksi yang relatif sedikit orang bisa menciptakan kanalnya sendiri. Model bisnis ini telah memberi ruang bagi ribuan konten kreator indie yang selama ini tidak tertampung oleh industri penyiaran konvensional.
Di sisi lain, model bisnis ini telah menciptakan budaya penyiaran baru yang liar karena menjadikan jumlah penonton sebagai tujuan tanpa disertai regulasi yang jelas. Dalam industri penyiaran konvensional, jumlah penonton juga menjadi tujuan para penyiar.
Namun, industri itu memiliki regulasi dan mekanisme pengawasan yang ketat. Televisi dan radio misalnya diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPI Daerah. Para pelakunya merupakan profesional terdidik yang kompetensinya diawasi dan bahkan disertifikasi.
YouTube cenderung menjadi “rimba penyiaran” karena tidak ada mekanisme pengawasan semacam itu. Perusahaan hanya mengandalkan pengawasan otomatis berbasis kecerdasan buatan yang sangat rentan dimanipulasi. Adapun pengawasan publik cenderung rapuh karena tidak mengandalkan kepakaran dan tidak ada sanksi yang tegas.
Celah-celah itulah yang membuat hukum rimba berlaku di YouTube: yang paling kuat yang bertahan. Dalam konteks ini, “kuat” direpresentasikan oleh banyaknya penonton dan pelanggan (subscriber) yang diperoleh YouTuber dengan menerabas aneka batas kewajaran. YouTuber yang kurang kreatif cenderung mengeksploitasi psikologi penonton yang cenderung impulsif dan tertarik apa-apa yang bombastis.
Emosi Lalu Sensasi
Sejak beberapa tahun lalu, YouTube mengubah algoritma yang memungkinkan platform ini memberikan sugesti video kepada penonton. Algoritma ini dikembangkan untuk memaksimalkan waktu menonton dengan cara merekomendasikan video-video lain yang dianggap menarik.
Algoritma ini menjadikan selera publik sebagai unsur yang sangat penting dalam interaksi kreator dan penonton. Kreator didorong menyesuaikan diri dengan selera penonton agar mendapat penonton yang banyak. Kondisi inilah yang membuat YouTube menjadi media yang berperan mengamplifikasi selera dominan.
Investigasi New York Times di Brasil Agustus 2019 lalu menunjukkan YouTube memiliki peran dalam mempromosikan ideologi politik sayap kanan. Kondisi terus mengeruh hingga memungkinkan orang seperti Jair Bolsonaro terpilih menjadi presiden di negara terbesar Amerika Latin itu. Eksekutif YouTube memang telah menyangkal temuan ini. Tetap saja, investigasi New York Times barusan patut menjadi catatan.
Algoritma yang didesain YouTube cenderung merekomendasikan video-video yang provokatif dan bombastis. Video bombastis cenderung membangkitkan emosi lebih besar, misalnya kemarahan, ketakutan, keraguan, dan rasa takjub. Lantaran membangkitkan emosi, video-video semacam akan diakui YouTube sebagai sesuatu yang menarik, mengalahkan konten-konten edukatif yang cenderung normatif dan disiplin secara logis.
Kondisi itulah yang membuat YouTube cenderung berkembang menjadi habitat yang cocok bagi konten-konten bombastis dan sensasional. Algoritma platform ini memang lebih akomodatif terhadap konten bernuansa emosional dibandingkan konten edukatif yang kritis.
Pengawasan Publik
Di titik inilah regulasi yang lebih ketat diperlukan. Secara umum, YouTube memang telah membuat Standar Komunitas yang harus dipatuhi para kreator. Dalam konteks penanganan Covid-19, misalnya, YouTube telah menerbitkan maklumat yang melarang kreator menyebarkan informasi yang bertentangan dengan otoritas kesehatan di negara bersangkutan.
Namun, standar komunitas ini rawan dimanipulasi. Kalaupun ada penanganan biasanya bersifat kuratif setelah pelanggaran terjadi dan menimbulkan gejolak di masyarakat.
Kondisi itulah yang membuat usul pengawasan terhadap media digital perlu ditimbang kembali. Meski bukan cara yang populer, pengawasan oleh otoritas diperlukan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar akibat konten destruktif.
Bersamaan dengan itu, pengawasan publik berbasis kesadaran personal dan komunitas keluarga juga diperlukan. Ada pengetahuan minimal yang dipersyaratkan untuk menjadi pengguna YouTube. Pengetahuan minimal itu diupayakan oleh masing-masing individu, komunitas warga, juga negara.
Penulis merupakan dosen Sosiolinguistik dan Jurnalistik di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tahun 2019 mendirikan Laboratorium Jurnalistik Tirto Adhi Soerjo di kampus tersebut. Selain mengajar, dia menulis kolom bertema bahasa dan jurnalisme di sejumlah media. Artikel ini memakai lisensi Creative Commons Atribution-Noncommercial. Pertama kali dimuat di laman remotivi.or.id