Agi Julianto Martuah Purba*
PIRAMIDA.ID- Tidak, Friere sudah tenang menikmati hasil perjuangan dan perlawanannya selama perziarahannya di dunia.
Paulo Friere (lahir di Recife, Brasil, 19 September 1921 – meninggal di São Paulo, Brasil, 2 Mei 1997 pada umur 75 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia.
Pandemi, hari ini, membuat tatanan baru dalam hampir di semua sektor. Adalah hal yang menghabiskan waktu untuk mengutuki virus ini, karena saat ini kita idealnya harus menyesuaikan untuk hidup berdampingan dengannya.
Tak luput, pendidikan menjadi sektor yang mengalami gejolak-gejolak perubahan dalam sistem dan penerapannya.
Kurikulum, misalnya secara penerapan kini secara terbuka bisa untuk disederhanakan sesuai dengan kebutuhan yang paling esensial di dalam kegiatan pembelajaran.
Dalam pelatihan peningkatan kapasitas guru yang saya ikuti di mana beberapa fasilitatornya adalah Eka Simanjuntak dan Dharma Palekahelu, ada beberapa poin penting yang dapat saya highlight.
Pertama, bahwa kurikulum darurat yang digunakan kala pandemi adalah hasil penyerapan dan perampingan dari kurikulum 2013. Kedua, dan yang menjadi fokus tulisan ini adalah pada topik “Teacher driven, sharing driven and student driven”.
Sejatinya, topik ini adalah pecahan dari konsep Teacher centre dan Student Centre. Teacher driven, seperti yang kita tahu memiliki konsep yang sama dengan teacher centre di mana guru bertugas merangkap sebagai pemimpin di kelas, mitra belajar, dan satu-satunya sumber materi dalam pembelajaran.
Sebaliknya, student centre adalah konsep di mana siswa menjadi fokus dalam proses dan tujuan pembelajaran yang dilakukan. Kedua konsep ini memiliki proses dan output yang berbeda. Di dalam kurikulum 2013, dan disesuaikan dengan kompetensi 4C (Creativity, Critical Thinking, Collaboration, and Communication) bahwa student centre adalah proses yang diharapkan untuk dapat direalisasikan.
Sharing driven, secara konsep adalah hasil dari mendudukkan konsep Friere. Friere mengganti konsep pembelajaran yang dulunya berdiri dengan konsep siswa sebagai objek, realita sebagai objek, dan guru adalah satu-satunya subjek dalam pembelajaran. Friere menyebutnya dengan “pendidikan gaya bank”, yang mana siswa hanya memiliki satu tugas, yakni menerima. Tidak ada dialektika antara guru dan siswa yang terjadi.
Menilik hal ini, Friere menawarkan dan mendesak suatu konsep di mana idealnya, siswa juga harus hadir sebagai subjek bersama dengan guru untuk mendiskusikan realita (permasalahan/materi belajar) sebagai objek. Dengan hal ini ada dialektika yang dibangun.
Mengesankannya, kadar pengetahuan yang mampu diingat oleh siswa dalam metode diskusi dan melibakan mereka dalam pembelajaran memiliki persentase yang mengesankan.
National Training Laboratory, dalam hal ini menjelaskan secara detail dalam piramida belajar, bahwa siswa akan mengingat 50% apa yang dipelajari jika melalui metode diskusi. Persentase ini hanya lebih rendah dari metode praktek dan mengajari orang lain yang tercatat secara persentase 75% dan 90%.
Memang sepertinya benar kata penyair di bulan Juni, bahwa hidup ini abadi yang fana itu waktu. Friere, dalam hal ini bangun dari tidurnya di kala pandemi untuk mengingatkan konsep mengajar-belajarnya di kala kebijakan Belajar Dari Rumah (BDR) hari ini.
Teramat banyak gejolak dan langkah adaptasi yang diambil oleh guru, siswa, dan orangtua dalam menempatkan diri dalam situasi ini. Ini untuk memastikan bahwa laju gerak pendidikan dapat dirasakan secara maksimal walaupun dengan meminimalkan banyak hal.
Namun, di kala pandemi saat ini, caranya bagaimana? Stakeholder, praktisi, dan pengamat pendidikan tidak tinggal diam melihat situasi ini. Langkah mereka dalam merespon situasi ini patut untuk diapresiasi. Mereka hadir dan menawarkan pelatihan-pelatihan virtual dalam peta konsep mempersiapkan model pembelajaran dalam menghadapi new normal.
Guru, yang sejatinya adalah garda terdepan diundang dengan terbuka untuk mengikuti ragam pelatihan yang ditawarkan secara gratis.
Yayasan Nusantara Sejati, misalnya bekerja sama dengan United for Children (UNICEF) menjalankan program pelatihan dengan banyak tema, khususnya perkembangan siswa dan model pembelajaran di kala pandemi.
Penulis yang juga mengikuti pelatihan tersebut, bisa melihat bagaimana pendidikan di berbagai wilayah, seperti Jawa hingga Papua.
Ada yang mendatangi siswa di desa, yang sebelumnya sudah disepakati sebuah pos pertemuan yang nantinya guru dan beberapa siswa bertemu, karena keterbatasan akses teknologi.
Ada pula yang melangsungkan kegiatan belajar secara virtual melalui WhatsApp Group di malam hari dengan asumsi agar orangtua dapat memperhatikan anak-anaknya mengikuti pembelajaran online. Itu hanya beberapa contoh bagaimana pendidikan tidak pernah menemui jalan buntu.
Konsep Friere, sekali lagi sangat dibutuhkan dalam pembelajaran seperti saat ini. Memastikan pembelajaran tidak hanya berjalan, namun hingga tahap lahirnya dialektika dalam proses pembelajaran.
Guru dan siswa sebagai subjek yang bersama-sama berdialektika merangsang rasa ingin tahu, menggugah untuk memvalidasi, dan menemukan pemahaman yang berdasarkan pemahaman pencariannya sendiri.(*)
Penulis merupakan tenaga pendidik di SMP Swasta Methodist Tanjung Morawa.