Robert Tua Siregar, Ph.D*
PIRAMIDA.ID – World Health Organization (WHO) menetapkan virus corona atau COVID-19 sebagai pandemi, karena telah menyebar ke lebih dari 200 negara di dunia. Akhir-akhir ini kita disuguhkan data peningkatan kasus COVID-19 di Indonesia baik jumah pasien terkonfirmasi positif dan jumlah pasien yang meninggal dunia.
Data ini cukup memprihatinkan namun pemerintah senantiasa berupaya untuk meminimalisir penyebaran COVID-19 di Indonesia. Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah mulai dari pusat sampai daerah dilaksanakan, dan dalam perjalannanya sosialisasi dilakukan dari berbagai aspek untuk memberikan edukasi kepada masyarakat melalui sosialisasi.
Pandemi COVID-19 secara umum sama dengan negara lain, di antaranya membangun kepercayaan, menetapkan jarak sosial, dan menciptakan kepastian. Selain itu juga perlu diterapkannya komunikasi publik yang efektif. Tetapi Indonesia bukan Inggris, Eropa, atau negara-negara kaya lainnya. Agar perilaku masyarakat kita berubah, orang perlu memiliki kemampuan, peluang, dan motivasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang Indonesia yang memiliki kemewahan kesempatan dan perlindungan sosial terbatas, oleh karenanya, partisipasi masyarakat harus didorong.
Di Indonesia saat ini sudah melakukan social distancing, akan tetapi yang kurang dari pemerintah Indonesia adalah kurangnya komunikasi publik yang asimetris (informasi yang mempengaruhi kebijakan), dan Indonesia harus mendorong community participation. “Kita tahu bahwa social protection Indonesia kurang memadai, tidak mungkin selalu bergantung dari pemerintah”.
Keberadaan musibah pandemi ini membentuk pola, membentuk perilaku dari masyarakat, dalam berbagai sektor; pekerjaan (WFH), pola komsumsi (on line), pendidikan (daring), berkumpul (daring) dan ekonomi serta budaya (ada pergeseran). Perilaku yang harus diubah adalah kebiasaan (atau folkways) masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan untuk berkumpul, bersosialisasi, dan bercengkerama dalam sebuah tatanan sosial yang cenderung berupa keramaian (seperti pasar, hajatan, dan kondangan). Kebiasaan ini harus diubah dalam arti melakukan hal tersebut tetapi secara daring (online meeting, online shopping, dan online events). Perilaku yang harus diubah juga adalah pemberian jarak antar orang sekitar 1 meter atau lebih.
Hal ini agar membantu mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi antar orang. Walaupun begitu, diperlukan waktu agar masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan ini, yang dapat dipercepat apabila terdapat insentif dari pemerintah.
Insentif dari pemerintah ini dapat berupa advertisement, bantuan langsung tunai (BLT) kepada pekerja yang terdampak, dan pemberian sosialisasi dan wawasan terhadap masyarakat luas, terutama mereka yang berada di dalam zona merah Infeksi COVID-19. Perubahan perilaku masyarakat umum tersebut juga tentu akan membantu menyelamatkan nyawa dari mereka yang terancam terinfeksi dan tentunya, sesuai dengan inisiatif dari berbagai negara di dunia, flatten the curve (mengurangi jumlah infeksi sehingga total orang sakit berada di dalam kemampuan sistem kesehatan negara) sehingga mengurangi beban di rumah sakit (akibat keterbatasan beds dan ventilator dalam setiap Rumah Sakit) dan menyelamatkan nyawa.
Namun, melihat bahwa argumen sebelumnya cenderung mengarah ke masyarakat kelas menengah ke bawah yang perlu mengubah perilakunya, hal ini tentulah kurang atau bahkan tidak mencukupi dalam rangka menghadapi pandemik; masyarakat kelas atas dan elit tentu juga harus merubah perilakunya. Dalam hal ini, penulis mengutip Class Solidarity (yang merupakan lawan dari Class Conflict-nya Marx) sebagai bentuk perlawanan universal masyarakat dari berbagai kelas. Class Solidarity merupakan konsep di mana muncul kesadaran antar kelas untuk saling membantu dalam menghadapi common enemy, di mana di dalamnya muncul pengorbanan dan solidaritas antar kelas dalam mencapai tujuan tersebut. Konsep ini lebih menggunakan contoh dari Battle of Britain (1940), ketika masyarakat kelas atas berbaur dengan kelas bawah untuk bersembunyi dari serangan Angkatan Udara Jerman.
Mengapa diperlukan Class Solidarity di Indonesia? Cenderung (atau mungkin personal bias dari penulis) kelas atas Indonesia, selama musim pandemik ini, bertindak tidak peduli terhadap pandemik yang tengah menyerang penduduk Indonesia. Entah itu korporasi, perusahaan, sosialita, dan elit-elit lainnya, sedikit menganggap serius infeksi COVID-19. Sebagai contoh, berbagai perusahaan (terutama yang terkenal dengan perusahaan sweatshops atau pekerja kasar) tidak menerapkan WFH (atau Work From Home) dengan alasan hal tersebut mengganggu “produktivitas” walaupun berisiko terkena infeksi.
Seharusnya, mereka, para pemilik modal dan perusahaan, mempunyai CSR (Corporate Social Responsibility)untuk menangani keamanan pekerjanya dan bertanggung-jawab terhadap lingkungan di sekitarnya. Dengan menerapkan pekerjaan secara langsung, memaksa pekerja untuk terus datang di tengah musim infeksi, melepas tangan ketika memang beberapa pekerja tersebut terinfeksi COVID-19, sementara petinggi-petingginya menikmati WFH dari rumah dan tidak terkena resiko tertular penyakit infeksius tersebut.
Idealnya, Class Solidarity ini dapat diwujudkan dengan perubahan perilaku kelas atas terhadap situasi COVID-19 di Indonesia. Perubahan perilaku ini adalah seperti dengan pemberian bantuan, aktivitas-aktivitas philanthropic seperti donasi pembelian APD (Alat Pelindung Diri) Rumah Sakit, meminimalisir jam kerja buruh untuk mengurangi keramaian, dan pemberian sedikit tunjangan bagi pekerja yang berada di zona merah infeksi untuk membantu kehidupan mereka (secara general, merefleksikan kepedulian elit terhadap COVID-19).
Walaupun begitu, argumen terhadap perilaku ideal ini adalah berkurangnya insentif perusahaan, penurunan omzet perusahaan, dan berkurangnya yearly income yang berdampak pada pertumbuhan perusahaan tersebut. Akan tetapi, perlu disadari bahwa terdapat beban moral yang bukan capital dalam menghadapi krisis, dan ini adalah salah satu momen tersebut. Sehingga, kelas atas harus mengerti bahwa sudah menjadi tugas mereka untuk membantu menopang kehidupan kelas bawah sebagai bentuk tanggung jawab dan bukan hanya menjadi beban negara.
Penulis adalah Ketua LPPM STIE Sultan Agung, kota Pematangsiantar
Editor: Red/Hen