Penulis: Pdt. Dr. Martongo Sitinjak*
Minggu III Dung Trinitatis
Kolose 3:18-21
PIRAMIDA.ID – Suami menjadi suami karena isterinya. Isteri menjadi isteri karena suaminya. Anak menjadi anak karena bapa dan ibunya. Fungsi suami, isteri dan anak nyata di dalam keluarga. Setiap anggota keluarga melakukan fungsinya sebagai suami atau isteri atau anak dalam tatanan hubungan sesama anggota keluarga. Perilaku hubungan itu sesuai fungsi masing-masing akanmemastikan bahagia tidaknya sebuah keluarga.
Semakin baik peranan seseorang sesuai fungsinya di tengah-tengah keluarga, semakin nyata pula proses terjadiya bangunan keluarga bahagia. Maka tidak ada kebahagiaan perorangan yang tidak berada dalam kebahagiaan bersama sebagai sesama anggota keluarga.
Tidak ada suami yang bahagia saat isterinya atau anaknya tertindas. Tidak ada kebahagiaan seorang anak saat ibu atau bapanya terhina. Kebahagiaan yang utuh bukan pada kebahagiaan individu saja melainkan ada pada hubungan antar manusia utamanya hubungan antar anggota keluarga. Untuk menggapai kebahagiaan keluarga orang percaya, hanya bisa terjadi manakala setiap anggota keluarga tunduk dan taat kepada Allah yang mendirikan lembaga keluarga sejak semula.
1. Aturan hidup dalam keluarga batih adalah hal yang sangat mendasar dalam membangun kebahagiaan hidup. Suami, isteri dan anak-anak menjadi anggota utama dalam keluarga. Keluarga adalah tempat utama untuk membangunpertumbuhan kasih dalam spiritualitas (jiwa), emosi (hati), intellectualitas (pikiran) dan creatifitas (kekuatan) (bnd Mrk 12:30).
Pertumbuhan hidup yang penuh kasih dapat dilakukan dengan hubungan yang erat di antara semua anggota keluarga. Inti utama dalam membangun hubungan bahagia di tengah-tengah keluarga di dasarkan pada ketaatan setiap anggota keluarga kepada Tuhan. Dalam ketaatan kepada Tuhan fungsi suami (bapa), fungsi isteri (ibu) dan fungsi anak dapat dilakukan dengan benar dan baik. Praktek hidup isteri tunduk kepada suami berjalan beriringan dengan praktek hidup suami mengasihi isteri. Istilah tunduk kepada suamimu tidak berada dalam urutan subordinasi.
Tunduk kepada suami hanya dapat dimengerti dalam arti kesejajaran sebagai anak-anak Allah, sehingga suami harus mengasihi istri dan tidak diperbolehkan berlaku kasar kepadanya. Suami-isteri tidak boleh dipahami dalam konsep berfikir ordinasi dan sub-ordinasi, melainkan suami istri adalah satu kesatuan yang terikat. Sejak semula Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, itu sebabnya laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (Mat 19:4-6). Mereka adalah satu tubuh yang tidak terpisah. Dalam penghayatan satu tubuh itulah dipahami, isteri tunduk kepada suami dan suami mengasihi isteri. Seorang isteri tunduk kepada suami memerankan fungsinya sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.
Demikian juga suami sebagai kepala keluarga memerankan fungsinya mengasihi isterinya dan tidak diperbolehkan berlaku kasar kepada isterinya. Dalam hubungan yang demikian sebagai wujud kesatuan mereka sebagai suami isteri akan membangun kebahagiaan bersama. Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.
2. Keluarga yang terberkati dengan keturunan mempunyai tanggungjawab untuk membangun kebahagiaan di dalam kesatuan sebagai keluarga. Untuk mewujudkan kebahagiaan itu Allah telah berfirman, agar orang tua mengajarkan kepada anak-anaknya secara berulang-ulang untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, kekuatan (Ulangan 6:4-7).
Pengajaran berulang-ulang harus dilakukan kepada anak-anaknya agar pertumbuhan spiritualitasnya, emosionalnya, kekuatannya dan pemikirannya berada dalam keutuhan untuk mengasihi Tuhan dan sesama manusia. Pada saat orangtua mengajar berulang-ulang anak-anaknya, sesungguhnya dia sedang mengajar dirinya sendiri.
Dalam kaitan itulah dapat dipahami arti dan makna dari “Hai anak-anak, taatilah orangtuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa-bapa janganlah sakiti hati anak-anakmu supaya jangan tawar hatinya”.
Bapa dan ibu menjadi pelayan utama dalam pertumbuhan seorang anak. Mereka harus membuka ruang pertumbuhan spiritualitas (jiwa) yang setia kepada Tuhan, pertumbuhan emosional (hati) yang seimbang dalam kehidupan; pertumbuhan intelektual (pemikiran) yang mampu membedakan yang benar dan salah; pertumbuhan kekuatan (creatifitas) yang dapat melakukan yang baik.
Rahasia kebahagiaan keluarga ada pada ketaatan secara bersama kepada Tuhan yang telah membentuk keluarga menjadi satu kesatuan tubuh. Perbuatan dan perilaku, baik suami atau istri maupun anak-anak, bukan perbuatan dan perilaku yang di dasarkan pada selera pergaulan antar sesama anggota keluarga. Perbuatan yang didasarkan pada keinginan seseorang cenderung melahirkan kekerasan dari yang kuat ke yang lemah atau sebaliknya.
Perbuatan dan perilaku itu harus diperbuat dengan segenap hati seperti untuk Tuhan bukan untuk manusia.Ketaatan mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, pikiran dan kekuatan akan terimplementasi dalam kehidupan yang mengasihi sesama anggota keluarga dengan segenap hati, jiwa, pikiran dan kekuatan.
Hal ini pula yang akan mengalir dalam kehidupan masyarakat sehingga tercipta, hubungan masyarakat yang bahagia oleh terciptanya keluarga-keluarga yang berbahagia. Ketaatan setiap anggota keluarga kepada Tuhan dapat memerankan fungsinya dengan baik mengasihi Tuhan dan sesama anggota keluarga. Ketaatan kepada Tuhan membangun keluarga bahagia. Amin
Penulis Merupakan Kadep Koinonia HKBP