Reiner Emyot Ointoe
PIRAMIDA.ID- “Um allein zu leben, muß man ein Tier und ein Gott sein.” (Nietzsche).
“Ada hutang di Eropa. Hutang bergelayut hingga ke Timur. Ada hutang di Timur di Barat.”
“Agama adalah zat adiktif. Klenengan maya.”
Kutipan populer berasal dari filsuf turunan Yahudi, Karl Marx (1818-1883) yang diplesetkan ini di antaranya berasal dari “The Manifesto Communist” (1848) yang ditulis bersama sekutu kapitalnya, Friedrich Engels (1820-1895). Juga bisa ditelisik dalam “Deutsche Ideologie” (1848).
Marx yang dipengaruhi oleh mitologi Promoteus itu sebetulnya sedang mempurifikasi jejak monoteisme Yudeo-Christo genealogi yang akhirnya dipungkaskan oleh Sigmund Freud dalam “Moses and Monotheism” (1939).
Sumber-sumber mitologi politeisme Yunani yang menyusup ke Alexandria di era Akhanaten-Pharaoh (Firaun) tak bebas budaya reminiskensa atau kognasi logos Yunani.
Setelah bermigrasi ke Inggris dan dibelit kepapaan material, Marx berkhalwat di British Museum dengan mengotak-atik sumber sejarah “mamonisme” (baca: materialisme) sebagai manifestasi dan personifikasi “senjakala berhala” (Götzen-Dämmerung) yang dibeberkan Nietzsche kemudian.
Marx memang bukan pewarta ateisme sebagaimana yang dituduhkan. Karena kritiknya pada ‘kebertuhanan sosialisme’ lah pangkal kelemahan kita dalam menghadapi garangnya kapitalisme sebagai penjelmaan akurat dari ‘teologi mamonisme’ yang menyaru seperti ular surga pada personifikasi Eva (Hawa).
Bertolak dari fondasi kritik filsafat sosialisme Marxis — dalam rangka menghapus mitologi bidah (heresy) dan klenik (cult) ‘senjakala berhala’ (baca: pendewaan materialisme) — maka ‘teologi kapitalisme’ terus melesat seperti kuda pegasus dan dewa Icarus di tudung (canopy) apa yang diistilahkan Popper ‘Open Society’ dan ‘Risk Society’ Uhrich Beck.
Jadi, Marxisme bukan sepenuhnya pengamalan ateisme pada prinsip filsafat sosial. Juga, bukan produk ideologi tunggal yang hendak menyerang struktur purba komunalistik religius.
Tapi, sesungguhnya kritik Marxisme itu adalah sejenis ‘teologi negatif’ yang mengalami reinkarnasi personifikasi-mistis dan re-mitis sekaligus.
Jika disederhanakan kritik ‘teologi Marxisme’ ini, itu mirip dengan perubahan dari Pancasila, trisila dan kembali pada ekasila.
“Language Game” Wittgenstein tampaknya instrumen filsafat yang paling merangsang libido ‘teologi negativa’ dengan mengejanya lagi dalam narasi: Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Memangnya, Tuhan itu alat dari ‘mode of production’ bagi hasrat alienasi dan reifikasi berhala modalitas.
Akhirnya, Nietzsche pun harus menandainya lagi pada ‘senjakala berhala’: “Ich will, ein für allemal, vieles nicht wissen. Die Weisheit zieht auch der Erkenntnis Grenzen” (Saya tak berambisi tahu segala, sedikit dan selamanya. Kebijaksanaan pun membatasi pengetahuan).
Penulis merupakan pegiat literasi dan media sosial.