Piramida.id
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy
Selasa, Mei 20, 2025
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas
No Result
View All Result
Piramida.id
  • Berita
  • Dialektika
  • Dunia
  • Edukasi
  • Ekologi
  • Ekosospolbud
  • Kabar Desa
  • Pojokan
  • Sains
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Spiritualitas
Home Dialektika

Mereka yang Menolak Penghargaan Nobel Sastra: Jean-Paul Sartre dan Boris Pasternak

by Redaksi
12/09/2020
in Dialektika
106
SHARES
756
VIEWS
Bagikan ke FacebookBagikan ke WhatsappBagikan ke Telegram

PIRAMIDA.ID- Tentang Nobel Sastra, Indonesia punya Pramoedya Ananta Toer yang berkali-kali dinominasikan sebagai peraih penghargaan bergengsi tersebut.

Hanya saja, Pram kurang beruntung, hingga ia meninggal tahun 2006, penghargaan tersebut gagal didapatkannya.

Meski penghargaan Nobel Sastra adalah penghargaan yang dianggap tertinggi untuk sastra di planet ini, namun ada dua nama yang dikenal pernah menolak untuk mendapatkan nobel sastra ini.

Kedua orang tersebut adalah Jean Paul Sartre dan Boris Leonidovich Pasternak. Keduanya punya alasan berbeda untuk penolakan ini.

Jean-Paul Sartre, Menolak Karena Pertimbangan Pribadi dan Alasan Politis

Nama Jean-Paul Sartre semakin melejit ketika diumumkan sebagai pemenang Nobel Sastra tahun 1964. Karya-karya filsafatnya dianggap bermuatan semangat akan kebebasan, mempertanyakan kebenaran dan juga tentunya kaya gagasan. Jean-Paul Sartre, ialah yang pertama meletakkan ekstensialisme dalam filsafat.

Namun, alih-alih menerimanya, Sartre justru menolaknya karena tidak ingin disebut sebagai “penerima Nobel Sastra”. Ia menganggap terlalu tinggi kemuliaan sebagai penerima Nobel Sastra yang nantinya malah membebani pembacanya.

Belakangan, diketahui juga ada motif lain dari Sartre menolak penghargaan bergengsi tersebut. Katanya, panitia Nobel berlaku tidak adil terhadap penulis dari Blok Timur, ketika dunia masih berada di perang dunia dan terbagi antara Blok Barat dan Blok Timur.

Alasan inilah yang akhirnya menjadikan banyak orang menganggap Sartre berpihak pada blok komunis. Padahal, Sartre sendiri menyatakan bahwa hal ini lebih didasari atas keadilan dan kesamarataan. Sebab, sejatinya Ekstensialisme yang dikemukakannya, merupakan bentuk protes terhadap gerakan totaliter, seperti komunis salah satunya.

Boris Pasternak: Penghargaan Dianggap Kerja CIA

Boris Leonidovich Pasternak adalah penulis asal Uni Sovyet (sekarang Rusia). Sebuah novel yang menjadi best seller dunia karangannya, Doctor Zhivago, adalah sebuah karya fiksi yang dianggap mengandung kritik terhadap sosialisme Uni Sovyet. Hasilnya, novel ini akhirnya dilarang diperjualbelikan di Uni Sovyet.

Namun, agar karya ini dapat dinikmati oleh penggemar sastra, karya tersebut dikirimkan ke Italia, dan penerbit Italia yang menerbitkannya pada tahun 1957. Novel tersebut mendapatkan respon yang baik, sampai kembali dicetak dan disebarluaskan ke seluruh dunia, dengan Bahasa Inggris.

Ketika dialihbahasakan menjadi Bahasa Inggris, novel tersebut justru menjadi novel dengan penjualan terbaik era itu di seluruh dunia. Ditambah lagi, ketika panitia Nobel Sastra mempublikasikan bahwa Pasternak adalah penerima Nobel Sastra, maka novel “Doctor Zhivago” semakin terkenal ke seluruh dunia.

Namun, ternyata (seperti yang akhirnya benar-benar terbukti), CIA (agen rahasia Amerika) berada di belakang keberhasilan serta kepopuleran novel tersebut.

Penerbitan ke seluruh dunia dalam Bahasa Inggris, ternyata dibekingi oleh CIA. Tentu saja, tujuannya adalah untuk “membongkar kebusukan Uni Sovyet kepada dunia” lewat karya Boris Pasternak.

Mengetahui hal itu, Uni Sovyet akhirnya menahan Boris Pasternak untuk tidak mengambil penghargaan tersebut di tahun 1958 ke Stockholm, Swedia.

Apabila Pasternak nekat ke Swedia, maka sebaiknya tidak usah kembali lagi ke Sovyet. Pasternak memilih untuk tidak mengambil penghargaan Nobel tersebut, karena ia mencintai tanah airnya. Baginya, tidak boleh kembali lagi ke negaranya, sama saja dengan kematian.


Sumber: Pojokseni.com

Tags: #filsuf#nobel#penghargaan#Sastra
Share42SendShare

Related Posts

Pidato Lengkap Jefri Gultom di Dies Natalis GMKI ke-74: Bangkit Ditengah Pergumulan

26/02/2024

Bangkit Ditengah Pergumulan Pidato 74 tahun GMKI Jefri Edi Irawan Gultom Para peletak sejarah selalu berpegang pada prinsip ini, ‘’perjalanan...

Pewaris Opera Batak

11/07/2023

Oleh: Thompson Hs* PIRAMIDA.ID- Tahun 2016 saya menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemdikbud (sekarang Kemendikbudristek) Republik Indonesia di kategori Pelestari. Sederhananya,...

Mengapa Membahas Masa Depan Guru “Dianggap” Tidak Menarik?

01/05/2023

Oleh: Agi Julianto Martuah Purba PIRAMIDA.ID- “Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di...

Membangun Demokrasi: Merawat Partisipasi Perempuan di Bidang Politik

14/04/2023

Oleh: Anggith Sabarofek* PIRAMIDA.ID- Demokrasi, perempuan dan politik merupakan tiga unsur yang saling berkesinambungan satu dengan yang lain. Berbicara mengenai...

Dari Peristiwa Kanjuruhan Hingga Batalnya Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U-20

03/04/2023

Oleh: Edis Galingging* PIRAMIDA.ID- Dunia sepak bola tanah air sedang merasakan duka yang dalam. Kali ini, duka itu hadir bukan...

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023

Oleh: Muhammad Muharram Azhari* PIRAMIDA.ID- Pengertian disiplin menurut Elizabeth Hurtock mengemukakan bahwa; Disiplin itu berasal dari kata "discipline", yaitu seseorang...

Load More

Tinggalkan KomentarBatalkan balasan

Terkini

Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Berita

Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH): Penegakan Hukum atau Alibi Militerisasi Atas Nama Konservasi?

09/05/2025
Berita

Ketua Front Justice: Kepemimpinan Wesly Silalahi Dinilai Gagal, Siantar Mengarah ke Kemunduran dan Kota Gelap

07/05/2025
Berita

GMKI Cabang Bandar Lampung Ungkap Krisis Kepolisian di Daerah Lampung: “Kekuasaan Tanpa Kendali, Rakyat Tanpa Perlindungan”

01/05/2025
Berita

Fawer Sihite Luncurkan Buku “Menghidupi Kembali Ut Omnes Unum Sint”: Refleksi dan Kebangkitan GMKI

22/04/2025
Edukasi

Refleksi Paskah dan Titik Balik Kebangkitan Ekonomi Indonesia

20/04/2025

Populer

Berita

Aliansi Mahasiswa Siantar Se-Jabodetabek Akan Kepung Mabes Polri: Tuntut Penangkapan Wali Kota Wesli Silalahi

11/05/2025
Spiritualitas

Kasih Sebagai Perintah Baru

26/07/2020
Edukasi

Peran Media Massa sebagai Watchdog Politik di Indonesia

17/11/2022
Dialektika

Prinsip-Prinsip Disiplin Kelas

02/04/2023
Dialektika

Immanuel Kant, Filsuf Yang Lebih Tepat Waktu Dari Jam

24/05/2020
Dialektika

Menilik Fenomena Hukum Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas

28/04/2022
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Terms
  • Policy

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba

No Result
View All Result
  • Kabar Desa
  • Dunia
  • Ekologi
  • Dialektika
  • Sopolitika
  • Sorot Publik
  • Lainnya
    • Ekosospolbud
    • Pojokan
    • Sains
    • Spiritualitas

© 2020-2024 Piramida ID

rotasi barak berita hari ini danau toba